Sebetulnya, lagu tersebut berkisah tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dan sampai sekarang, kisah sejenis, faktanya masih saja terjadi.
Tapi, jika ada yang menilai lirik lagu tersebut berlebihan atau lebay menurut remaja sekarang, sah-sah saja. Harmoko menilai lagu tersebut bisa menghambat laju pembangunan nasional karena menurunkan semangat kerja masyarakat.
Saya sendiri, bisa menikmati lagu "Hati yang Luka" sambil tetap bekerja, karena saya tidak terbuai dengan lirik dan suara nyanyian yang meratap-ratap seperti itu.
Menurut saya, ini masalah tren musik saja. Pada dekade 1970-an, lagu pop Indonesia dikuasai oleh grup band cowok, seperti Koes Plus, Bimbo, The Mercy's, Panbers, D'Lloyd, Favorite's Group, dan The Rollies.Â
Nah, pada dekade setelah itu, giliran penyanyi-penyanyi solo cewek yang menjadi tren dan menguasai blantika musik tanah air.
Dan satu nama yang sangat berpengaruh di balik tren baru itu, adalah salah satu personil The Mercy's, Rinto Harahap. Obbie Messakh dan Pance Pondaag menjadi pengikut aliran Rinto.
Rinto bisa dinilai sebagai pelopor lagu-lagu sendu (lebih pas disebut sendu ketimbang cengeng) yang diciptakannya dan dibawakan sejumlah penyanyi wanita cantik orbitannya.
Ada juga penyanyi cowok yang dipercaya Rinto membawakan lagu-lagu ciptaannya, yakni Eddy Silitonga. Namun, citra Rinto setelah The Mercys  bubar identik dengan lagu sendu dan wanita cantik.
Kalau saja sekarang lagu-lagu cengeng kembali berjaya, rasanya tidak bakal ada pejabat yang melarang seperti Harmoko. Atmosfer politik sudah berbeda setelah Orde Baru tumbang.
Itulah sekelumit catatan yang saya ingat tentang Harmoko, setelah berita berpulangnya beliau ke alam baka, Minggu (4/7/2021) yang lalu banyak diberitakan media massa.