Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tidak Terpapar Covid-19, Kecemasan Berlebihan Bisa Jadi "Silent Killer"

10 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 10 Juli 2021   10:10 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak merasa cemas, sejak gelombang pandemi kembali bergejolak hebat, terutama di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Setelah grafiknya sempat mengalami penurunan, dalam beberapa minggu terakhir ini, grafiknya naik tak terkendali.

Siapa yang tidak merasa cemas, ketika setiap membuka aplikasi percakapan di media sosial, berita tentang anggota keluarganya, kerabatnya, dan teman-temannya yang dipanggil menghadap Sang Pencipta, seakan sambung menyambung.

Belum lagi berita famili dan teman-teman yang satu keluarga lagi terpapar Covid-19. Ada yang dirawat di rumah sakit, ada pula yang berburu rumah sakit, tapi tidak kunjung mendapat tempat. Tentu yang melakukan isolasi mandiri juga tak kalah banyaknya.

Siapa yang tidak merasa cemas, melihat berita di televisi atau di media daring, tentang orang-orang yang antre berburu oksigen, atau tentang jenazah pasien Covid-19 yang antre menunggu dimakamkan.

Bisa jadi sekarang ini kecemasan tersebut sudah merata di semua kalangan. Kalau pada musibah yang bersifat bencana alam, mereka yang tergolong orang kaya mungkin tidak cemas.

Kalaupun ada harta benda mereka yang lenyap, katakanlah yang tersapu banjir besar, toh dengan uang yang mereka miliki bisa dibeli atau dibangun kembali.

Tapi, jika sudah terkait dengan penyakit serius, apalagi berupa pandemi dengan daya tular yang sangat cepat, kecemasan itu tidak pandang bulu lagi. Uang yang banyak bukan lagi jadi penyelamat.

Kecemasan itu sendiri sangatlah manusiawi. Hanya saja, bila kecemasan itu sudah terlalu berlebihan, malah sama berbahayanya dengan virus corona.

Maksudnya, bisa jadi secara medis seseorang tidak terpapar virus, tapi kondisinya menjadi kritis justru karena kecemasan yang berlebihan. Jadi, yang membunuh bukan hanya penyakit, tapi bisa dari kecemasan yang tak terkendali.

Pernah mendengar atau membaca "you are what you think"? Contohnya, ada seseorang yang berpikir atau merasakan bahwa ia sakit, padahal setelah dicek ke lab dan diperiksa dokter, ternyata tidak ada apa-apa.

Tapi, selalu saja ia merasa resah, banyak pikiran, sehingga akhirnya kurang makan, kurang istirahat, dan alhasil memang jadi sakit beneran.

Sebaliknya, banyak pula orang yang sakit ringan, tapi tidak sampai membebani pikirannya. Ia tetap merasa sehat dan akhirnya memang sehat.

Kapan suatu kecemasan disebut berlebihan? Bila seseorang dihantui oleh bayangan buruk yang seolah-olah selalu membuntutinya ke manapun ia pergi.

Semakin cemas seseorang, semakin besar "hantu" itu membayanginya. Malah nantinya kecemasan itu sendiri yang menjadi silent killer.

Kecemasan berlebihan membuat seseorang tak bisa bekerja seperti biasa, karena tak bisa berkonsentrasi. Bayangkan kalau ia seorang karyawan, tentu atasannya lama-lama akan marah punya anak buah yang tidak menjalankan tugasnya.

Dan akhirnya memunculkan masalah yang lebih pelik bila misalnya ia diminta mengundurkan diri. Kalau sidah begini, ibarat jatuh tertimpa tangga.

Ciri lain dari kecemasan berlebihan adalah ketika seseorang terus menerus mengalami makan tak enak dan tidur pun tak nyenyak. Gampang ditebak, akibatnya badan terasa lemah, letih, lesu, lunglai, dan perasaan lain sejenis itu.

Jika itu terjadi berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, tentu daya tahan tubuh boleh dikatakan ambruk. Nah, kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin yang jadi "pembunuh" itu bukan virus, tapi kecemasan yang berlebihan dan berkepanjangan itu sendiri.

Masalahnya, bagaimana mengatasi kecemasan yang berlebihan? Dalam konteks pandemi Covid-19, tak bisa lain, kunci utama adalah mematuhi protokol kesehatan secara konsisten.

Apa itu protokol kesehatan tidak perlu lagi ditulis di sini, rasanya semua sudah tahu. Hanya, sekadar tahu, tapi tidak dilaksanakan, maka besar kemungkinan akan kebobolan. 

Sekiranya ada kesempatan buat mendapat vaksin, langsung diambil. Tapi, pastikan saat antre untuk divaksin tetap tertib mengikuti protokol kesehatan.

Kemudian, lakukan rumus yang juga sudah umum, yakni makanan bergizi yang cukup, tidur yang cukup, bekerja sesuai profesi dengan penuh semangat, dan tetap bersosialisasi dengan famili dan sahabat, meskipun saat ini cukup secara online.

Jangan lupa meluangkan waktu untuk menikmati hobi atau hiburan yang disukai, termasuk rutin berolahraga. Tak kalah penting, selalu berpikir positif dalam menyikapi sesuatu.

Aktivitas membaca merupakan sesuatu yang baik. Tapi, di era maraknya media sosial yang membuat informasi bersliweran, sebaiknya dipilah-pilah dulu. Informasi yang diragukan kebenarannya, segera abaikan atau dihapus.

Las but not least, tekunlah beribadah dan berdoa sesuai ajaran agama yang kita anut. Toh, pada akhirnya setelah berusaha dan berdoa, Tuhan-lah yang lebih tahu apa yang terbaik buat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun