Sebaliknya, banyak pula orang yang sakit ringan, tapi tidak sampai membebani pikirannya. Ia tetap merasa sehat dan akhirnya memang sehat.
Kapan suatu kecemasan disebut berlebihan? Bila seseorang dihantui oleh bayangan buruk yang seolah-olah selalu membuntutinya ke manapun ia pergi.
Semakin cemas seseorang, semakin besar "hantu" itu membayanginya. Malah nantinya kecemasan itu sendiri yang menjadi silent killer.
Kecemasan berlebihan membuat seseorang tak bisa bekerja seperti biasa, karena tak bisa berkonsentrasi. Bayangkan kalau ia seorang karyawan, tentu atasannya lama-lama akan marah punya anak buah yang tidak menjalankan tugasnya.
Dan akhirnya memunculkan masalah yang lebih pelik bila misalnya ia diminta mengundurkan diri. Kalau sidah begini, ibarat jatuh tertimpa tangga.
Ciri lain dari kecemasan berlebihan adalah ketika seseorang terus menerus mengalami makan tak enak dan tidur pun tak nyenyak. Gampang ditebak, akibatnya badan terasa lemah, letih, lesu, lunglai, dan perasaan lain sejenis itu.
Jika itu terjadi berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, tentu daya tahan tubuh boleh dikatakan ambruk. Nah, kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin yang jadi "pembunuh" itu bukan virus, tapi kecemasan yang berlebihan dan berkepanjangan itu sendiri.
Masalahnya, bagaimana mengatasi kecemasan yang berlebihan? Dalam konteks pandemi Covid-19, tak bisa lain, kunci utama adalah mematuhi protokol kesehatan secara konsisten.
Apa itu protokol kesehatan tidak perlu lagi ditulis di sini, rasanya semua sudah tahu. Hanya, sekadar tahu, tapi tidak dilaksanakan, maka besar kemungkinan akan kebobolan.Â
Sekiranya ada kesempatan buat mendapat vaksin, langsung diambil. Tapi, pastikan saat antre untuk divaksin tetap tertib mengikuti protokol kesehatan.
Kemudian, lakukan rumus yang juga sudah umum, yakni makanan bergizi yang cukup, tidur yang cukup, bekerja sesuai profesi dengan penuh semangat, dan tetap bersosialisasi dengan famili dan sahabat, meskipun saat ini cukup secara online.