Apakah  di kota Anda ada nama jalan yang mengambil nama tokoh di masa pergerakan nasional, Tan Malaka? Yang spontan saya ketahui, hanya ada di Padang dan Payakumbuh, keduanya di Sumatera Barat.
Itupun di Padang, Jalan Tan Malaka bukan di jalan protokol, hanya jalan kecil sepanjang sekitar 200 meter. Namun, di Payakumbuh, Jalan Tan Malaka merupakan jalan utama di Payakumbuh Utara, menuju Pandam Gadang, nagari (desa) kelahiran Tan Malaka.
Padahal, Tan Malaka dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963.
Dengan gelar tersebut, seharusnya sudah jelas, Tan Malaka diakui peranan besarnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam usia 28 tahun, yakni pada tahun 1925, Tan Malaka telah mencetuskan konsep Republik Indonesia dalam bukunya yang berjudul 'Naar de Republiek Indonesia' atau 'Menuju Republik Indonesia'.
Meskipun tidak setenar Bung Karno dan Bung Hatta, namun pemikiran Tan Malaka menjadi rujukan bagi kedua tokoh besar yang kemudian menjadi proklamator kemerdekaan itu.
Namun, jika nama pahlawan nasional banyak disematkan pada nama jalan, nama bandara, nama universitas, dan berbagai nama tempat publik lainnya, kenapa nama Tan Malaka tidak laku. Terlupakan atau dilupakan?
Apakah pemerintah setengah hati mengakui jasa dan pengorbanan Tan Malaka bagi negara? Apalagi di akhir hidupnya, Tan Malaka meninggal secara tragis.
Tan Malaka bersama pengikutnya ditangkap pasukan TNI di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Setelah ditangkap, Tan Malaka dan pengikutnya dieksekusi dengan cara ditembak (Kompas.com, 21/2/2021). Eksekusi mati tersebut terjadi pada 21 Februari 1949.
Sebelum itu, seperti ditulis minews.id (3/7/2020), tentang kudeta pertama dan terakhir di Indonesia pada tahun 1946, dipicu oleh ketidakpuasan Tan Malaka dan kawan-kawannya seperti Achmad Soebardjo dan Sukarni terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Jadi, kudeta yang dilakukan Tan Malaka bukan menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno, melainkan untuk meruntuhkan kabinet yang dipimpin oleh Sjahrir. Tan Malaka dan kawan-kawan menilai Sjahrir terlalu lembek dalam menghadapi diplomasi Belanda.