Saya bukan ahli hukum, mohon maaf jika keliru. Saya mengartikan asas praduga tak bersalah dengan tidak boleh mencap seseorang sudah bersalah (meskipun berstatus tersangka), hingga diputuskan bersalah oleh pengadilan.
Nah, asas itu ingin saya pakai secara terbalik dalam konteks lain. Begini, sekarang ini rasanya semua orang kewalahan dengan melimpahnya informasi, terutama melalui media sosial.
Menghadapi hal itu, bagaimana kalau kita langsung menganggap semua itu tidak benar, sampai nanti terbukti kebenarannya setelah melakukan check and recheck. Artinya, kita harus mendahulukan sikap mencurigai informasi yang baru kita terima.
Contohnya, seperti yang dihadapi seorang sepupu saya. Ia sekeluarga lagi terpapar virus corona. Suaminya dirawat di rumah sakit, sedangkan sepupu saya dan anak-anaknya sedang isolasi mandiri di rumahnya.
Memang, di satu sisi ia bersyukur dengan banyaknya ucapan doa untuk kesembuhannya melalui percakapan di media sosial. Tapi, yang membuat ia pusing, terlalu banyak saran tentang obat, baik obat modern, maupun tradisional, yang tak jelas kebenarannya.
Boleh jadi tujuan si pengirim berita untuk membantu teman atau familinya agar bisa segera sembuh. Hanya saja, dengan cara seperti itu, malah bisa mencelakakan.
Banjir informasi tentang pandemi atau lazim disebut dengan infodemi, sekarang sedang marak-maraknya, seiring dengan semakin banyaknya warga yang terpapar virus corona.
Kompas.id (29/6/2021) menuliskan bahwa infodemi perlu disikapi dengan bersikap skeptis terhadap informasi yang beredar dan pers berperan sebagai penjernih informasi.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada periode 1 Agustus 2018 sampai 22 Juni 2021, menunjukkan terdapat 8.449 isu hoaks yang menerpa publik.
Menurut data tersebut, tiga isu terbesar  terdiri dari isu kesehatan dengan 1.719 hoaks, pemerintahan dengan 1.702 hoaks, dan politik dengan 1.252 hoaks. Khusus isu kesehatan, mayoritas hoaks terkait dengan isu pandemi Covid-19.
Syukurlah, akhirnya sebagian masyarakat yang berpikir kritis, mulai mampu menyaring informasi. Maka berita yang diduga hoaks akan mereka abaikan.
Hal ini berbeda dengan respon sebagian masyarakat lainnya yang gampang termakan hoaks. Begitu mereka mendapat berita, tanpa dicermati, langsung disebarkan begitu saja.
Tajuk Rencana Kompas (25/6/2021) menuliskan hal yang bagus, bahwa kebutuhan publik akan berita tepercaya tumbuh selama pandemi Covid-19. Hal ini memberikan harapan, sekaligus tantangan bagi media.
Ada banyak media, tapi tidak semua bisa memenuhi harapan itu. Masyarakat berharap pada media tepercaya, yang netral, adil, obyektif, dan menyesuaikan informasi beragam sesuai kebutuhan mereka.
Inilah kesempatan emas bagi kalangan pers untuk kembali memainkan peranan penting seperti dulu sebelum media sosial marak.
Memang, media cetak sudah banyak yang gulung tikar. Tapi, yang mampu bertahan saat ini, meskipun dengan jumlah halaman yang lebih tipis, punya harapan besar untuk kembali menambah jumlah pelanggannya.
Kelemahan media cetak adalah soal waktu, di mana ketika berita itu sampai di tangan pembaca, berita sejenis sudah lebih dahulu bertebaran di media daring dan media sosial.
Namun, keunggulan media cetak terletak pada kualitas informasi, termasuk dari sisi kedalaman, kelengkapan, dan keakuratan informasi. Hal ini karena informasi tersebut telah diolah sesuai dengan prinsip jurnalistik yang baik.
Tentu, media cetak saat ini juga membuat berita versi daring. Nah, diharapkan, berita yang dibuatnya bukan sekadar mencari sensasi. Juga bukan mengandung misi tersembunyi yang memihak kelompok tertentu, baik kelompok politik, maupun kelompok bisnis.
Media yang ideal adalah yang menyuarakan kepentingan rakyat banyak dan sekaligus meningkatkan taraf literasi masyarakat.Â
Jika taraf literasi masyarakat sudah meningkat, hoaks akan berkurang dengan sendirinya.Â
Soalnya, setiap seseorang mendapat informasi yang dicurigai menyesatkan, informasi tersebut tidak akan disebarkannya.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI