Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sarjana Perbankan yang Sukses Jadi Peternak di Tengah Kepungan Gedung Jangkung

4 Juli 2021   07:04 Diperbarui: 4 Juli 2021   19:02 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rifqi Maulana (dok. kompas.id)

Siapa bilang, di Jakarta, mereka yang tertarik untuk menjadi seorang petani, tak akan bisa menuai keberhasilan, termasuk bagi peternak yang masih merupakan sub dari pertanian. 

Memang, jika dilihat dari sesaknya gedung-gedung jangkung hingga rumah dari triplek di kawasan kumuh, terkesan tak ada lagi lahan bagi pertanian.

Tapi, jika rajin berkeliling sudut-sudut ibu kota, masih terdapat lahan terlantar yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam oleh penjaga lahan tersebut.

Kemudian, seiring dengan berkembangnya bercocok tanam tanpa menggunakan lahan, mulai banyak warga yang tertarik mengadu untung jadi petani modern, misalnya dengan metode hidroponik, akuaponik, atau aeroponik.

Perlu diingat, masyarakat Betawi sebagai penduduk asli kota Jakarta, pada dasarnya adalah masyarakat agraris. Memang, orang Betawi semakin banyak yang lari ke pinggir, sehingga menjadi warga Jawa Barat atau Banten.

Akibatnya, begitu banyak nama kawasan di Jakarta yang menggunakan kata "kebon", tapi kebunnya sendiri sudah hilang. Sebut saja sebagai contoh, Kebon Nanas, Kebon Jeruk, Kebon Manggis, Kebon Baru, dan sebagainya.

Namun, ternyata masih ada orang Betawi yang berdomisili di tengah kota Jakarta, yang sukses jadi petani. Contohnya, seorang anak muda berusia 33 tahun, Rifqi Maulana.

Rifqi sebetulnya lulusan S-1 Manajemen Perbankan. Tapi, dengan sadar ia memilih jadi seorang peternak. Seperti yang telah ditulis di atas, peternakan dapat dianggap sebagai bagian dari pertanian.

Bayangkan, Rifqi tinggal di Mampang Prapatan yang padat. Kawasan ini meskipun masuk wilayah Jakarta Selatan, tapi kalau dilihat pada peta DKI Jakarta, termasuk di bagian tengah.

Nah, di tengah kepungan gedung-gedung jangkung Ibu Kota, Rifqi, yang profilnya ditulis Kompas (25/6/2021), dengan mantap memelihara 42 ekor sapi perah di kandang keluarganya di Mampang tersebut.

Selain itu, Rifqi juga memelihara 6 ekor sapi perah di Duren Tiga, Jakarta, serta 30 ekor di Depok, Jawa Barat. Peternakan sapi tersebut merupakan usaha keluarga, dan Rifqi merupakan generasi ketiga.

Dulu, di kawasan Mampang tersebut terkenal sebagai tempat orang Betawi menjalankan usaha ternak sapi perah. Masalahnya, yang mampu bertahan sampai generasi ketiga, sangat sedikit.

Dari sekitar 20 keluarga yang dulu memelihara sapi perah, sekarang tinggal empat keluarga saja, termasuk Rifqi. Sedangkan yang lain tergoda berganti usaha yang lebih bernuansa kota, seperti membangun rumah kontrakan.

Sebagai anak muda zaman sekarang, Rifqi mengelola peternakannya dengan lebih memperhatikan aspek kebersihan. Rifqi juga sering berkonsultasi dengan dokter hewan bila ada sapi yang sakit.

Usaha sapi perah bukan satu-satunya yang digeluti Rifqi. Ia melakukan diversifikasi usaha, tapi semuanya masih berkaitan dengan sapi, yakni pembibitan sapi dan usaha sapi potong. 

Bahkan, sapi potong yang dijual Rifqi, menjadi pilihan sebagai hewan kurban di Hari Raya Idul Adha oleh orang nomor satu di republik ini, Presiden Joko Widodo, pada tahun lalu.

Selain itu, Rifqi juga punya usaha pembuatan tahu. Apa keterkaitannya dengan usaha peternakan sapi? Ternyata ampas tahu merupakan pakan sapi, selain rumput gajah.

Dari sekian banyak usaha tersebut, bisnis sapi perah tetap yang paling dominan karena penjualan rata-rata per hari sebanyak 600 liter susu sapi. Sebagian di antaranya dibeli oleh pengelola restoran.

Tentu bisa dibayangkan, penghasilan Rifqi dari berbagai usaha di atas, lumayan besar. Apalagi, usaha tersebut juga menampung sejumlah tenaga kerja.

Tak heran, Rifqi mengaku tak pernah sedetik pun terpikir untuk mengakhiri usaha peternakan tersebut dan beralih jadi orang kantoran, seperti yang dilakukan banyak sarjana.

Inilah pelajaran yang dapat dipetik, terutama bagi mereka yang sudah lulus kuliah, tapi masih berburu pekerjaan, khususnya pekerjaan sebagai orang kantoran.

Tak usah gengsi menjadi petani atau peternak. Toh, petani sekarang bisa juga berpenampilan bersih, tidak kumal seperti petani zaman dahulu.

Lalu, untuk apa ijazah sarjana kalau akhirnya "cuma" jadi petani? Kalau ada yang bertanya seperti itu, jelas keliru. Jangan sebut petani sebagai "cuma". Buktinya Rifqi punya penghasilan lebih besar ketimbang rata-rata orang kantoran.

Yakinlah, ilmu yang didapat di bangku kuliah tidak akan terbuang percuma. Ilmu tersebut akan membentuk pola pikir yang lebih baik serta tindakan yang lebih terarah dan sistematis.

Satu lagi, jangan anggap kalau tinggal di kota besar, apalagi kota metropolitan, tidak cocok untuk bertani dan beternak. Bagi mereka yang punya kemauan yang kuat, pasti ada jalan untuk mewujudkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun