Saya hitung-hitung, ternyata saya lumayan banyak ikut di grup WhatsApp (WA), yakni 23 grup. Memang, beberapa di antaranya merupakan grup percakapan yang sepi, hanya muncul pada momen tertentu.
Tapi, di sebagian besar grup WA yang saya ikuti, lalu lintas percakapannya terbilang aktif. Tiap sebentar ada saja anggota grup yang memposting sesuatu atau menanggapi postingan orang lain.
Nah, ada beda signifikan yang saya lihat pada materi yang diposting di grup-grup tersebut dibanding masa sebelumnya. Sejak beberapa minggu terakhir ini, kabar duka terlihat dominan.
Kabar duka dimaksud adalah berita yang mengabarkan meninggalnya salah satu anggota grup. Atau, yang meninggal dunia adalah orang tua, anak atau saudara dari salah seorang anggota.Â
Bahkan, pernah di hari yang sama (tepatnya pada hari Selasa, 22/6/2021), saya mendapatkan tiga berita duka, yakni dua berita di grup teman-teman kerja saya dan satu berita di grup alumni sekolah menengah saya dulunya.
Dari 3 orang yang meninggal dunia pada hari yang sama itu, satu orang pernah menjadi teman satu kantor dengan saya, satu orang teman sekolah di waktu dulu, dan satu orang ayah dari teman kerja saya.
Kalau sudah begitu, ucapan ikut berdukacita akan mengalir deras, termasuk saya yang jarang memposting atau menanggapi postingan teman, ikut juga mengucapkan belasungkawa.
Bayangkan, di sebuah grup WA, anggotanya ada yang hampir 200 orang. Hampir semuanya pada waktu yang hampir berdekatan mengirimkan ucapan dukacita disertai doa bagi almarhum atau almarhumah dan doa bagi keluarga yang ditinggalkan.
Masih pada hari yang sama, meskipun bukan berita meninggal dunia, saya juga dapat informasi di sebuah grup WA tentang salah satu anggotanya yang terpapar Covid-19 dan bersama anaknya yang juga terpapar, lagi antre untuk mendapat ruang perawatan di Wisma Atlet Kemayoran Jakarta.
Tentu, terhadap anggota tersebut, saya dan anggota grup lainnya menuliskan pesan berupa doa untuk kesembuhannya. Terbayang bagaimana perasaan teman yang lagi antre itu, mengingat banyak rumah sakit yang sudah kewalahan menampung pasien baru.
Dugaan saya, ada juga teman lain yang terpapar tanpa menginformasikan di grup WA. Memang, dengan diam-diam, ada keuntungannya. Paling tidak, tidak akan terganggu melayani pertanyaan teman-teman yang ingin tahu kronologis terpaparnya seseorang.
Bertubi-tubinya berita duka yang saya baca, tak urung membuat ciut nyali saya. Tak bisa lain, saya merasa wajib untuk lebih hati-hati dan selalu mematuhi protokol kesehatan, terutama jika berada di luar rumah.
Namun, sebetulnya saya tidak kaget membaca bertubi-tubinya berita duka di grup-grup WA yang saya ikuti. Soalnya, saya sudah membaca berita di media massa tentang pecahnya rekor baru penambahan kasus baru pasien Covid-19 secara harian.Â
Sekarang, di tingkat nasional, angka penambahan kasus secara harian sudah menembus 15.000 kasus, tepatnya di angka 15.308 kasus yang menjadi rekor tertinggi nasional. Hal itu terjadi hari ini, Rabu 23 Juni 2021.
Sedangkan khusus di DKI Jakarta, sudah menembus 5.000 kasus, di mana rekor tertinggi terjadi pada tanggal 20 Juni 2021 dengan jumlah 5.582 kasus.
Tadinya, saya menduga begitu di DKI Jakarta angka penambahan kasus harian menyentuh 4.000 orang, akan diterapkan lockdown. Apalagi, banyak imbauan dari berbagai pihak yang menyatakan tidak ada jalan lain selain lockdown.Â
Dengan lockdown, semua orang "terkunci" di rumahnya masing-masing dan berbagai tempat publik ditutup untuk umum. Tentu ada pengeculian untuk petugas kesehatan, petugas keamanan, dan sebagainya.
Ternyata, jangankan lockdown, PSBB pun tidak. PSBB adalah pembatasan sosial berskala besar. Yang masih berlaku sekarang masih PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) berskala mikro. Meskipun ada embel-embel "PPKM Diperketat".
Maksud diperketat, khusus di kawasan zona merah, kegiatan perkantoran hanya boleh maksimal 25 persen karyawan yang work from office. Artinya, yang 75 persen bekerja di rumah.
Demikian juga kegiatan di ruang publik, kapasitas pengunjung diperkecil dan jam tutup kegiatan dipercepat. Di DKI Jakarta, beberapa ruas jalan juga ditutup pada jam tertentu.
Masalahnya, bagi warga DKI Jakarta, yang mana yang zona merah, sering tidak diketahui masyarakat. Selain itu, perubahan dari zona bukan merah menjadi merah, juga bersifat dinamis, bisa berubah-ubah.
Kenapa lockdown atau PSBB tidak menjadi pilihan? Tentu berkaitan dengan dampak ekonominya yang diduga akan membuat banyak pelaku usaha semakin menderita.
Ya, memang dilematis. Makanya, terlepas dari apa pun kebijakan pemerintah, sekarang dituntut kesadaran masing-masing warga untuk selalu disiplin mematuhi protokol kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H