Bagi mereka yang bekerja sebagai orang kantoran, tentu telah familiar mendengar istilah disposisi. Mungkin disposisi ini lebih kentara di lingkungan instansi pemerintah atau di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk juga milik pemerintah daerah.
Soalnya, bekerja di lingkungan pemerintahan, terkesan lebih menonjolkan aspek formalitas. Sedangkan di perusahaan swasta tidak terlalu seperti itu.
Nah, agar aspek formalnya terpenuhi, instruksi seorang atasan ke bawahan lazimnya ditulis pada lembar disposisi yang ditempelkan pada sebuah surat atau dokumen.
Bisa jadi sekarang di kantor-kantor sudah banyak yang menerapkan sistem e-office yang meminimalkan kegiatan surat menyurat secara konvensional.Â
Tapi, itu bukan berarti tidak ada menerima atau mengirim surat dinas. Hanya saja, semuanya dilakukan secara elektronik tanpa kertas, seperti email atau aplikasi khusus sejenis itu.
Sebagai contoh, katakanlah di sebuah kantor pusat bank, ada surat masuk dari salah satu nasabah besarnya yang meminta agar kreditnya diberikan keringanan pembayaran bunga.
Surat tersebut ditujukan kepada direktur utama bank. Oleh direktur utama surat akan didisposisi ke direktur yang membidangi perkreditan. Lazimnya akan dibubuhi tulisan "TL" (tindak lanjuti).
Kemudian, oleh direktur perkreditan, surat tersebut akan didisposisi lagi kepada Kepala Divisi Kredit Korporasi yang khusus menangani kredit untuk perusahaan-perusahaan besar.
Selanjutnya oleh kepala divisi, surat tersebut didisposisi lagi kepada kepala bagian yang menangani akun si nasabah. Setelah itu, kepala bagian juga mendisposisi kepada staf yang jadi account officer untuk nasabah yang berkirim surat.
Bayangkan panjangnya birokrasi dari contoh di atas, sehingga didisposisi berulang-ulang. Semakin ke bawah, disposisi akan lebih teknis dan bukan yang bersifat umum seperti TL di atas.
Nanti proses menyusun jawaban ke nasabah juga akan melewati tahapan seperti itu, yakni dari staf ke kepala bagian, kepala divisi, direktur, dan direktur utama.
Untuk bisa menjawab permohonan tersebut, tentu si staf akan melakukan pengkajian setelah mengumpulkan data yang relevan, termasuk datang langsung meninjau usaha si nasabah.
Jika disposisi yang ditulis kepala bagian cukup menjelaskan poin-poin yang harus dilakukan si staf, akan lumayan membantu sebagai acuan.Â
Namun, adakalanya bila disposisi masih ditulis di atas kertas, sering tidak terbaca dengan baik, karena banyak atasan yang tulisannya mirip resep dokter.Â
Tapi, kalau disposisinya masih bersifat umum seperti gaya direktur, kesulitannya adalah memaksa si staf harus kreatif menerjemahkannya.
Maksudnya kreatif, si staf harus mampu mengira-ngira apa maunya atasan. Misalnya dengan kreasi sendiri membuat draft, kemudian menyampaikannya ke si bos untuk mendapatkan koreksian.Â
Terlepas dari contoh di atas, Selain TL, disposisi yang sifatnya umum, memang sering dibuat para atasan. Misalnya, tertulis "Pantau dan laporkan", "Teruskan ke Divisi A", "Harap pelajari", "Koordinasikan dengan Divisi B", dan "Tanggapi segera".
Apa yang tertulis pada disposisi tersebut, secara tidak langsung bisa menggambarkan karakter si bos, termasuk juga kompetensinya dalam memimpin.
Anggapalah ada seorang kepala divisi yang membawahi 5 kepala bagian. Masing-masing kepala bagian membawahi dua kepala seksi, lalu setiap seksi terdiri dari sekitar 5 sampai 8 orang karyawan.
Kepala divisi yang sering salah disposisi, umpamanya secara prosedur pekerjaan harus ke bagian A, tapi didisposisi ke bagian B, jelas mencerminkan si bos belum begitu menguasai struktur organisasi dan job description-nya.Â
Bisa pula si bos bingung, menulis sekaligus untuk beberapa bagian. Atau si bos memanggil seorang kepala bagian dan mendiskusikan isi dokumen yang akan didisposisinya.
Bos yang suka disposisi pendek-pendek, bahkan cenderung ngambang, mencerminkan bos yang memberikan kepercayaan penuh ke bawahan. Si Bos cukup menuliskan "do your best" atau "best effort".
Bos yang seperti itu ada baiknya, karena berpikir secara praktis saja, tidak menuntut terlalu banyak, serta tak mau terlibat secara teknis.Â
Namun, tentu juga ada sisi tidak enaknya, jika bawahan tak paham, ia harus mencari teman lain untuk berdiskusi, agar bisa menindaklanjuti disposisi si bos.
Adapun bos yang suka disposisi panjang-panjang, bahkan pakai nomor urut 1,2,3, dan seterusnya, mencerminkan bos yang berpikir secara rinci dan menguasai aspek teknis.
Bos seperti itu sangat mementingkan akurasi data dan kepatuhan pada prosedur. Kelebihannya, bawahan sangat terbantu, karena arahan si bos sudah jelas, tinggal dikerjakan saja.
Kelemahannya, ruang untuk bawahan agar melahirkan pemikiran yang kreatif atau inovatif, relatif terbatas. Kecuali si bawahan berani menghadap si bos dan beradu argumen.
Nah, Anda lebih suka disposisi pendek-pendek atau yang panjang-panjang. Ini juga mencerminkan tipikal Anda, suka diarahkan sesuai pakem atau suka freestyle?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H