Camellia, pastilah nama seorang wanita. Karena pakai "c" dan "l"-nya dobel, nama ini sangat mungkin terinspirasi dari nama wanita di Eropa atau Amerika.
Anak muda sekarang bisa jadi tak kenal dengan Camellia. Tapi ketika saya remaja, di akhir dekade 70-an hingga awal dekade 80-an, Camellia sangat populer.
Makanya, kalau saya tergila-gila dengan Camellia, meski belum sekalipun melihat wajahnya, mohon dimaklumi. Bukan saya saja, jutaan orang Indonesia lainnya ketika itu juga mendadak menggemari Camellia.
Nama Camellia itu selalu dikumandangkan di radio dan televisi. Atau seperti saya yang membeli kaset Camellia dan memutar berulang-ulang di tape recorder di rumah saya.
Saya punya kaset Camellia secara komplit, dari Camellia 1 hingga Camellia 4. Sebetulnya saya belum puas, masih ingin punya Camellia 5.
Sayangnya, Ebiet G Ade, si pemilik Camellia telah "membunuhnya", sehingga setelah Camellia 4, tak kan pernah ada lagi Camellia selanjutnya.
Karena siapa itu Camellia hingga sekarang masih misteri, lebih baik saya tuliskan tentang Ebiet G Ade saja. Dialah yang melahirkan, membesarkan, sekaligus mematikan Camellia.
Ebiet lebih suka menyebut dirinya sebagai seorang penyair yang bergaul dengan sesama seniman di kota gudeg Yogyakarta. Namun, kelebihan Ebiet, ia bisa menciptakan lagu dari puisi yang ditulisnya sendiri dan piawai pula menyanyikannya.
Suaranya yang khas, agak sengau pada nada tinggi, justru menjadi daya tarik tersendiri, di samping syair lagunya yang puitis.Â
Sebetulnya, pada waktu pertama kali saya mendengar lagu Ebiet di layar kaca, saya tak langsung bisa menikmatinya. Iramanya terdengar aneh, keluar dari pakem lagu-lagu pop Indonesia ketika itu, dan juga tidak mirip lagu pop Barat yang menjadi kiblat musik Indonesia.
Tapi, setelah mendengar beberapa kali, kok terdengar enak? Apalagi pada sampul kasetnya, dituliskan lirik dari semua lagu, yang seperti telah ditulis di atas, semuanya berupa puisi Ebiet.