Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Badai Pasti Berlalu Versi Peribahasa Minang dan Relevansinya di Saat Pandemi

28 Juni 2021   08:00 Diperbarui: 28 Juni 2021   08:01 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Indak ado kusuik  nan indak ka salasai, indak ado karuah nan indak ka janiah", demikian bunyi sebuah peribahasa bernada optimis dalam bahasa Minang.

Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, bunyinya menjadi: "Tidak ada kusut yang tak akan selesai, tidak ada keruh yang tidak akan jernih".

Penafsiran bebasnya adalah, seberat apapun masalah yang kita hadapi, tetaplah optimis. Jika kita mampu bersikap tenang, tidak panik, masalah tersebut akan terselesaikan.

Peribahasa di atas, bagi generasi muda Minang sendiri, mungkin sudah banyak yang tidak tahu. Justru, ungkapan yang lebih populer untuk hal serupa adalah kata-kata puitis "badai pasti berlalu".  

Kalau tidak keliru, "badai pasti berlalu" itu, awalnya merupakan judul novel karya Marga T yang menjadi cerita bersambung (cerbung) di harian Kompas pada tahun 1972.

Kemudian, melihat minat pembaca yang tinggi, Gramedia menerbitkannya menjadi buku pada tahun 1974. Bahkan, kemudian novel ini difilmkan dengan judul yang sama pada tahun 1977 yang disutradarai oleh Teguh Karya.

Seperti halnya novelnya, film Badai Pasti Berlalu juga meledak di pasaran. Apalagi film itu dibintangi oleh aktor dan aktris terkenal saat itu, yakni Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Roy Marten, dan Mieke Widjaja.

Versi daur ulang dari film tersebut diproduksi pada tahun 2007 dengan sutradara Teddy Soeriaatmadja, dan dibintangi Vino Bastian dan Raihaanun.

Tidak itu saja, kepopuleran "badai pasti berlalu" juga karena kehadiran lagu berjudul sama yang diciptakan Eros Djarot dan dibawakan oleh penyanyi Chrisye. Lagu ini menjadi salah satu lagu pop Indonesia legendaris dan sering berkumandang hingga sekarang.

Sama halnya dengan peribahasa dalam bahasa Minang di atas, ungkapan "badai pasti berlalu" jelas bernada optimis, menjadi penyemangat dalam menghadapi suatu masalah yang pelik.

Tapi, bukan kepastian serangan badai akan berlalu yang perlu dibahas. Masalahnya bukan pada kata "pasti", tapi soal waktu, kapan akan berlalu.

Bayangkan kalau sebuah kapal yang berisi sekian banyak orang dihantam badai di tengah laut lepas. Jika badainya berlalu setelah semua penumpang pada tewas, maka jelas ini bukan kondisi yang diharapkan.

Nah, kalau yang disebut badai itu adalah pandemi Covid-19, besar kemungkinan pada akhirnya juga akan berlalu. Tapi, itu tadi, yang menjadi tanda tanya besar, adalah: kapan?

Sampai sekarang masih belum berlihat tanda-tanda pandemi akan berakhir. Justru, rekor demi rekor baru terus bermunculan, yang berkaitan dengan jumlah kasus baru dan jumlah pasien yang meninggal dunia.

Seperti dalam beberapa hari terakhir ini, setiap hari adalah rekor baru, grafiknya masih menaik. Padahal sebelumnya pernah melandai. 

Data terbaru, pada hari Minggu kemarin (27/6/2021), penambahan kasus harian baru di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 21.342 kasus. Khusus untuk DKI Jakarta saja, angkanya juga sangat signifikan, yakni 9.394 kasus. 

Katanya, kalau sudah terbentuk herd immunity atau kekebalan kelompok melalui vaksinasi dan penerapan pola hidup sehat, virus tak akan kuat menyerang tubuh seseorang.

Celakanya, yang ada justru herd stupidity atau kebodohan kelompok. Itulah yang sering terbaca atau terlihat di media massa atau media sosial, yakni warga yang cuek dan abai dengan protokol kesehatan ketika berada di ruang publik.

Ironisnya, mereka tidak saja abai, tapi malah melawan petugas yang lagi mengadakan razia. Banyak orang yang tanpa masker berkerumun, saling ngobrol, makan bersama, bernyanyi dan bergoyang bersama, dan sebagainya.

Lalu, ketika aparat yang melakukan razia bermaksud meminta mereka yang berkerumun untuk membubarkan diri, mereka justru menantang aparat berkelahi.

Selain itu, pada barisan antrian untuk mendapatkan vaksin pun, protokol kesehatan tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan. 

Bagaimanapun, kita memang harus optimis bahwa badai pasti berlalu. Tapi, tidak bisa rasa optimis itu dilakukan dengan tetap bertingkah laku seperti di era normal sebelum pandemi.

Rasa optimis harus sejalan dengan kepatuhan kita mengikuti ketentuan protokol kesehatan. Jika semua kita kompak mematuhinya, tanpa perlu razia dari aparat keamanan, kasus baru akan segera turun.

Dengan demikian, kepastian kapan badai akan berlalu, diperkirakan akan datang lebih cepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun