Topik pilihan Kompasiana tentang "awas copet", ternyata merupakan topik yang tergolong banyak mendapat tanggapan para kompasianer (julukan bagi para penulis di Komapasiana).
Meskipun saya tidak melakukan pendataan atas tulisan-tulisan tersebut, hasil pengamatan saya secara sekilas, bagi warga perkotaan, terutama yang sering menaiki kenderaan umum, mengalami musibah kecopetan, sudah biasa.
Maksud sudah biasa, bukan berarti seseorang bisa kecopetan berkali-kali. Tapi, sudah biasa di mana-mana ada saja orang yang berprofesi sebagai pencopet.
Jadi, tindakan yang diperlukan adalah bagaimana caranya kita selalu waspada agar tidak kecopetan. Dan, tentang bagaimana caranya ini, sudah cukup banyak tulisan yang membahas, saya tak akan menambah lagi.
Jika kita berharap para pencopet sudah tidak ada karena berhasil diringkus oleh aparat hukum, mungkin bisa terjadi selama beberapa hari. Umumnya, kalau lagi ada operasi khusus dari pihak berwajib.
Namun, setelah itu kondisi akan normal lagi, maksudnya para pencopet kembali mengintai mangsanya. Soal mangsa ini, mereka tidak pandang bulu, mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek.
Buktinya, hampir semua tulisan di Kompasiana, menceritakan pengalaman pribadi si penulis saat menyadari dompet atau hapenya telah raib digondol pencopet.
Hasil pengamatan saya berikutnya, copet beraksi di banyak kota. Memang di kota yang lebih besar, tentu saja lebih banyak. Makanya, dari tulisan di Kompasiana, lokasi kecopetan kebanyakan terjadi di Jakarta dan kota-kota sekitarnya.
Namun, di kota lain seperti Yogyakarta dan Solo, bahkan kota yang lebih kecil seperti Jember dan Banyuwangi, juga terjadi hal yang sama. Artinya, kewaspadaan kita harus selalu dijaga, meskipun lagi berada di kota kecil.
Nah, hal lain yang ingin saya sorot, untuk aksi copet yang dilakukan oleh beberapa orang, sebut saja sebagai komplotan copet, menurut saya mereka adalah aktor berbakat.
Kalau saja mereka ikut dilatih soal seni peran, bukan tidak mungkin ada di antara mereka yang jadi aktor beneran, tampil di layar kaca atau layar lebar.
Saya sendiri pernah larut menonton "aksi panggung" mereka di atas bus kota sekitar tahun 1993. Setelah komplotan tersebut turun di sebuah halte, mendadak tak ada lagi penumpang yang berdiri berdesak-desakkan di pintu belakang bus.
Lalu saya rogoh saku celana saya bagian belakang. Kok tipis? Ternyata dompet saya sudah berpindah tangan. Rupanya, mereka yang berdesakan itu, selain saya yang baru naik bus, anggota geng copet semua.Â
Kalau tidak salah, saya ketika itu naik bus PPD nomor 213 yang melayani rute Kampung Melayu-Grogol yang melewati Jalan Sudirman, tempat saya bekerja.
Saya masih ingat "drama" yang dimainkan mereka. Seorang cewek adu mulut dengan seorang cowok. Lalu yang lain ikut memanaskan situasi. Belakangan saya tahu, cewek tersebut masih bagian dari komplotan, karena setelah turun mereka terlihat kompak.
Sebetulnya, saya dari awal sudah ragu akan naik karena bus penuh, namun akhirnya tetap naik. Begitu dalam bus, perhatian saya langsung tesedot pada mereka yang adu mulut.
Setelah musibah itu, saya lebih berhati-hati. Dompet saya masukkan dalam tas di bagian dalam. Namun, pernah dua kali nyaris kecopetan lagi.Â
Suatu kali, tas saya pas turun bus terlihat bekas disilet. Untung saja tak ada barang yang hilang, kecuali payung lipat yang memang saya simpan di tas bagian depan, ikut kena silet.
Kalau main silet, dugaan saya yang menjadi pelaku bukan komplotan, tapi bermain sendiri. Tapi, pada dasarnya si pelaku juga "aktor" atau "pesulap".
Kejadian berikutnya saat saya ketemu komplotan lagi. Persis seperti bus 213 di atas, saya berdiri di bagian belakang dikelilingi mereka yang saya dari awal sudah curigai.
Ketika itu saya tidak membawa tas, tapi juga tidak membawa dompet. Di saku belakang celana panjang saya, kosong tanpa isi apa-apa. Tapi, di saku depan sebelah kanan, berisi uang receh.
Uang pecahan besar saya simpan di saku rahasia, yang dijahit khusus yang pasti sulit diambil pencopet karena tertutup ikat pinggang kulit yang lebar.
Anehnya, mungkin melihat saya dalam kondisi waspada dan tidak gugup, di halte berikutnya, mereka serempak turun bus.Â
Bahkan uang receh pun yang sempat hampir diambil oleh salah seorang di antara mereke, tapi saya melihat saat tangannya mau merogoh, tetap utuh di saku saya.
Ya, begitulah pengalaman saya. Sekarang, meski sudah jarang naik kendaraan umum, tapi saya merasakan kondisi yang jauh lebih baik bila sesekali naik bus Transjakarta atau kereta api komuter antar stasiun dalam kota Jakarta dan sekitarnya.
Meskipun demikian, belajar dari pengalaman, kewaspadaan tetap perlu. Jangan pernah lengah, bahkan dalam kondisi sepi sekalipun.
Seperti telah disingung di atas, membasmi copet sampai habis, rasanya belum mungkin di negara kita. Ini tidak saja masalah ekonomi, di mana lapangan kerja belum mencukupi bagi semua angkatan kerja, tapi juga masalah mental.
Kenapa saya sebut masalah mental? Karena ada saja orang yang ingin jalan pintas untuk mendapatkan uang. Ada pencopet yang diberikan pekerjaan yang halal, tapi mereka tidak betah dan kembali ke dunia copet.
Salah satu alasan, mungkin karena mereka merasa lebih enak jadi "aktor". Sayangnya, mereka manggung di tempat yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H