Hampir sewindu saya rutin menulis di Kompasiana. Jujur, awalnya saya tidak terpikir tentang membangun personal branding, karena tujuan saya menulis hanya untuk hepi-hepi saja.
Menagapa saya hepi kalau menulis? Itu karena sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) saya sudah hobi menulis, dan itu keterusan sampai sekarang, saat saya tidak muda lagi.
Makanya, begitu bertemu media seperti Kompasiana, saya betul-betul seperti anak kecil yang mendapatkan mainan yang telah lama diidamkannya. Soalnya, Kompasiana, meskipun ada syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi, memberi kebebasan bagi siapapun untuk menulis.
Setelah sekian lama, baru terpikirkan, apakah saya akan tetap menulis apa saja, atau mulai fokus pada satu bidang yang paling saya pahami? Dalam istilah manajemen, hal tersebut identik dengan memilih antara jadi seorang generalis atau spesialis.
Nah, dalam kaitannya dengan personal branding, tentu alangkah baiknya bila saya menganalisis kekuatan dan kelemahan saya, lalu menetapkan bidang yang akan menjadi spesialisasi tulisan-tulisan saya.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memilih untuk tetap menjadi penulis generalis, karena memang saya sulit untuk melepaskan diri dari seorang generalis.
Seorang penulis generalis terkesan menguasai banyak hal, tapi sebetulnya tidak seperti itu, karena banyak membahas kulit-kulitnya saja. Sedangkan penulis spesialis menguasai suatu bidang saja, tapi secara mendalam.
Tulisan yang konsisten pada bidang yang sama dan betul-betul mendalam, tentu akan menciptakan personal branding yang kuat bagi penulisnya. Artinya si penulis punya keunikan atau diferensiasi.Â
Masalahnya, sungguh berat bagi saya untuk jadi seorang spesialis. Saya sangat gampang tergoda mengikuti kata hati, yakni menulis apa saja yang terlintas dalam pikiran.
Begini, saya itu punya latar belakang pendidikan bidang ekonomi dan bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Maka, tulisan saya tentang ekonomi, manajemen, keuangan, serta pernak pernik dunia orang kantoran, lumayan sering nongol di Kompasiana.
Saya juga pembaca media cetak yang rakus dan sekarang ditambah dengan media daring. Setiap ada berita atau opini yang menarik perhatian, tangan saya gatal untuk segera menulis, semacam memberikan tanggapan atas apa yang saya baca.
Sejak tahun 1982 saya sudah ikut pemilu dan hingga sekarang belum sekalipun menjadi golput. Jadi, kalau saya tergoda sesekali menulis politik, harap dimaklumi.
Kemudian, saya orang Minang, beragama Islam, dan merantau di Jakarta. Tak sedikit pula tulisan saya berkaitan dengan budaya Minang, agama Islam, dan kondisi yang saya lihat di Jakarta.
Apalagi? O ya, saya suka menonton pertandingan sepak bola di layar kaca. Pernah pada suatu masa, tulisan saya mayoritas berupa reportase atas pertandingan di Liga Indonesia. Saya menulis sambil menonton. Tak lama setelah pertandingan usai, tulisan saya juga tayang.
Tapi, kalau sekarang saya mengurangi tulisan tentang sepak bola, itu bukan bagian dari strategi personal branding. Hanya lagi malas saja.
Sebelum pandemi saya juga relatif sering melakukan perjalanan, meskipun kebanyakan di dalam negeri, dan sesekali ke luar negeri. Itupun kebanyakan merupakan perjalanan dinas, maksudnya penugasan dari kantor.
Sebagai bukti, saya mengabadikan perjalanan itu dalam bentuk tulisan dan dilengkapi foto-foto yang saya jepret sendiri, untuk ditayangkan di Kompasiana.
Selanjutnya, saya suka mengamati apa yang terjadi di tengah keluarga besar saya, juga mengamati pengalaman teman-teman saya. Maka, tulisan yang berbau rumah tangga, termasuk tentang kisah cinta, sering terinspirasi dari sini.
Jadi, kepada para pembaca, mohon maaf kalau saya terkesan "rakus", mau "melahap" semuanya. Padahal, hanya dicicipi sedikit-sedikit, karena memang bukan seorang pakar di bidang-bidang yang saya tuliskan.
Kalau kesannya saya itu sok tahu, karena semua topik mau dirambah, saya terima dengan lapang dada. Makanya, jika saya seperti tidak mempedulikan personal branding, ya tulisan ini boleh dianggap sekadar pembelaan diri dari saya.Â
Bagi saya, menulis itu yang penting enjoy aja. Jadi, kalau saya disebut sebagai penulis gado-gado, penulis sok tahu, penulis kulit-kulitnya saja, atau bahkan penulis ecek-ecek, ya saya tetap enjoy.
Toh, semua itu sejalan dengan motto yang saya tulis di profil; "menulis untuk menikmati kehidupan". Beginilah cara saya menikmati kehidupan.
Berbeda dengan saat dekade 90-an dulu , ketika saya aktif menulis di media cetak. Karena harus diseleksi redaksi, saya harus berhitung dan sengaja mengkhususkan diri menulis di bidang ekonomi dan manajemen.
Sekarang, juga ada seleksi oleh admin atau pengelola Kompasiana, dengan risiko terjelek adalah tulisan tidak diberi label oleh admin. Dan saya, terutama pada tahun-tahun pertama bergabung di Kompasiana, sering tidak dapat label. Tapi, ya itu tadi, enjoy aja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H