Di perusahaan tempat saya bekerja, seorang karyawan berhak cuti secara akumulasi sebanyak 18 hari kerja dalam setahun. Memang, karena kesibukan, untuk level pejabat jarang yang menggunakan seluruh haknya, biasanya hanya terpakai sekitar 6-8 hari kerja saja.
Adapun untuk karyawan biasa, rata-rata menghabiskan semua hak cutinya. Artinya, dalam satu bulan, pada hari tertentu, mereka mengajukan cuti kepada atasannya.
Tak ada masalah dengan cuti karyawan, karena aturannya harus diajukan beberapa hari sebelumnya. Jadi, atasannya sudah bisa mengatur beban pekerjaan, agar tidak terganggu gara-gara ada yang cuti.
Bahkan, jika ada yang mendadak tidak masuk kantor, misalnya karena sakit, tetap tidak masalah. Soalnya, sistem backup sudah tertata dengan baik, sehingga untuk setiap pekerjaan sudah ada petugas pengganti, jika petugas utama tidak masuk.
Tapi, dalam beberapa kasus yang saya amati, bisa saja kualitas petugas pengganti sangat jauh berbeda dengan petugas utama. Kalau sudah begitu, ketergantungan pada petugas utama, jadi tidak terelakkan.
Kebetulan saya lama bertugas di divisi yang menangani akuntansi di sebuah BUMN. Salah satu tugas utama di divisi tersebut adalah menyiapkan laporan keuangan setiap bulan. Hal ini relatif tidak rumit karena telah diproses melalui sistem teknologi informasi.
Hanya saja, khusus untuk laporan triwulanan, biasanya laporan dari sistem tersebut mengalami perubahan. Hal ini karena ada beberapa penyesuaian secara manual, karena angka-angkanya akan dipublikasikan melalui media massa.
Penyesuaian tersebut tentu setelah melihat kondisi perusahaan yang dibahas bersama manajemen perusahaan. Memang, prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia, membolehkan adanya penyesuaian laporan keuangan untuk hal tertentu.
Nah, penyesuaian itu dilakukan dengan baik oleh karyawati benama Desi. Masalahnya, Desi melakukan dengan melihat catatan-catatan penyesuaian sebelumnya, dan catatan itu sulit dipahami orang lain.
Akibatnya, setiap mau menyiapkan laporan triwulanan, peranan Desi sangat vital dan atasannya memberi perhatian khusus agar Desi jangan sampai tidak masuk kantor.
Soalnya, Desi ini terkenal egois dan agak sedikit emosional bila terjadi hal yang kurang disukainya. Makanya, ia tak punya banyak teman. Bahkan, Desi tak segan berkomentar yang pedes ke atasannya.
Atasan Desi sudah berkali-kali meminta Desi mengajarkan kepada teman yang menjadi backup-nya. Tapi, tetap saja tak berjalan dengan baik, sehingga jika Desi sakit atau cuti pada saat penyusunan laporan keuangan, petugas pengganti akan kocar-kacir.
Bagaimanapun, menurut saya, Desi masih lebih baik dari Marto, seorang karyawan di divisi lain yang pernah meraih predikat karyawan teladan.
Marto ini awalnya terkenal sebagai karyawan yang sangat rajin karena tidak pernah cuti. Bahkan, ia sering lembur sehingga ia disenangi atasan. Lagipula, orangnya ramah dan pintar bergaul.
Pada suatu kali, Marto sakit berat dan terpaksa dirawat di rumah sakit, sehingga pertama kalinya setelah beberapa tahun, ia tidak masuk kantor. Celakanya, arsip pekerjaannya tidak ditemukan, sehingga petugas penggantinya bekerja sebisanya saja.
Akhirnya, dengan seizin atasan, tempat menyimpan dokumen di meja kerja Marto dibuka paksa. Nah, setelah melihat dokumen-dokumen yang ada, terungkaplah bahwa selama ini Marto sengaja menyembunyikan sesuatu.
Wajar bila Marto tak mau cuti, karena ia khawatir, kebusukan yang disembunyikannya akan ketahuan bila ia  tak di kantor. Jadi, Marto diam-diam memalsukan dokumen pegeluaran perusahaan.
Ringkasnya, dokumen itu memperlihatkan bahwa sudah sekitar dua tahun perusahaan mengeluarkan uang untuk keperluan tertentu, dengan jumlah lebih besar dari yang seharusnya. Diduga kelebihan pembayaran itu masuk ke kantong Marto.
Tentang bagaimana modusnya, saya tidak tahu persis. Yang jelas, Marto akhirnya dipecat karena kesalahannya dinilai berat. Jika sekadar melanggar disiplin, tapi tidak merugikan perusahaan secara finansial, bisa jadi hukuman bagi Marto tidak seberat itu.
Poin saya adalah, jangan cepat mengambil kesimpulan dari apa yang terlihat di permukaan. Karyawan yang rajin sekali sampai tak pernah cuti, malah perlu diwaspadai.
Sejak itu, di tempat saya bekerja, ada ketentuan baru. Terhadap karyawan yang tak pernah mengambil cuti selama setahun, akan dipaksa cuti oleh atasannya.
Tentu saja tidak semua karyawan yang enggan cuti, integritasnya diragukan. Ada memang yang tergolong workaholic alias gila kerja. Sepetinya jika ia tidak bekerja, ia akan linglung.
Terlepas dari itu, dilihat dari aspek kesehatan dan juga spiritual, cuti bekerja itu penting dilakukan, karena berfungsi ibarat mengisi baterai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H