Isu tentang melorot tajamnya kinerja keuangan maskapai penerbangan kebanggan kita, Garuda Indonesia, sudah banyak dibicarakan media massa.
Sebetulnya, jika bukan karena flag carrier bagi Republik Indonesia, dilihat dari kacamata ekonomi, membiarkan Garuda jatuh alias dilikuidasi, cukup masuk akal.
Soalnya, bila pemerintah menyuntikkan modal lagi, dalam kondisi anggaran pemerintah yang sangat terbatas seperti saat ini, tentu Garuda bukan menjadi prioritas. Pengeluaran untuk pengendalian pandemi Covid-19, jauh lebih penting dan bersifat mutlak.
Lagipula, melihat beratnya masalah yang dihadapi Garuda, berapa pun tambahan dana yang akan diberikan pemerintah, dikhawatirkan akan "tenggelam" begitu saja.
Sedangkan meminta bantuan dari pihak swasta, tentu tidak gampang, kalkulasi bisnisnya harus jelas dan terukur. Pihak swasta baru bersedia masuk, jika yakin dananya bisa berkembang, meskipun setelah menunggu beberapa tahun.
Tapi, justru hitung-hitungan bahwa beberapa tahun dari sekarang (jika Garuda mendapatkan investor baru), kinerja Garuda bisa melesat lagi, masih kabur.
Jadi, dilihat dari uraian di atas, akhirnya masuk akal juga bila Garuda dilikuidasi. Lagipula, sudah ada ketentuan hukum yang mengatur tatacara perusahaan yang akan dilikuidasi.
Dalam hal ini, aset Garuda nantinya akan dilelang, lalu cara pendistribusian hasil lelang akan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.Â
Tentu berbagai pihak yang selama ini memberi utang kepada Garuda akan menerima hasilnya, namun sangat mungkin nilainya jauh di bawah utang yang dikucurkannya.
Tapi, apa betul Garuda akan dibiarkan menempuh langkah likuidasi? Rasa-rasanya pemerintah, pelanggan setia Garuda, dan juga masyarakat umum, tidak tega.
Ada faktor sejarah dan kebanggaan bangsa pada nama besar Garuda Indonesia yang tak bisa dikesampingkan begitu saja. Makanya, tak sedikit yang berpendapat agar Garuda jangan dibiarkan tumbang, bagaimanapun harus tetap terbang.