Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Program Food Estate dan Singkong yang Naik Kelas

28 Mei 2021   18:00 Diperbarui: 31 Mei 2021   02:51 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu saat sekitar tiga tahun lalu, saya pulang ke kota kelahiran saya, Payakumbuh, Sumatra Barat. Seorang keponakan saya bercerita tentang keberhasilannya berkebun singkong di beberapa lokasi di pinggir kota Payakumbuh.

Dia memakai pola bagi hasil dengan pemilik lahan atau dengan sistem sewa lahan. Bagi pemilik lahan yang mengerti betapa menguntungkannya berkebun singkong, pasti akan memilih pola bagi hasil, karena akan menerima uang yang lebih banyak.

Ternyata, maraknya bisnis oleh-oleh keripik singkong khas Padang, telah menyebabkan tingginya kebutuhan akan bahan baku utamanya, tanaman singkong. Harga singkong pun jadi menggiurkan, sehingga jumlah petani yang menanam singkong semakin banyak.

Boleh dikatakan, setiap panen singkong, sudah ada saja pedagang yang memborong habis. Oleh pedagang akan dijual ke para pelaku usaha keripik singkong. Bisa juga yang memborong adalah pelaku usaha yang akan mengolah singkong jadi aneka makanan oleh-oleh.

Kebetulan saya sudah beberapa kali melihat dapur tempat singkong diproses menjadi keripik, baik di Payakumbuh, Bukittinggi, maupun di Padang. 

Cerita keponakan saya itu masuk akal, karena bila satu pembuat keripik saja membutuhkan banyak singkong, hitung saja, di seluruh Sumbar pelaku usaha sejenis berjumlah ratusan yang tersebar di semua kabupaten atau kota.

dok. beritasatu.com
dok. beritasatu.com
Memang, yang terkenal dan sudah jadi industri tersendiri yang produknya sudah berskala nasional, belum begitu banyak. Di antaranya adalah dengan merek Christine Hakim, Rohana Kudus, dan Ummi Aufa.

Tapi, yang kelas kecil pun tetap berproduksi secara konsisten dan sudah punya pelanggan tetap. Para penjual yang kelas kecil ini menumpuk di beberapa titik sepanjang jalur perjalanan darat yang menghubungkan Padang dan Pekanbaru.

Saya juga membaca berita bahwa perkembangan bisnis makanan olahan singkong sekarang telah naik kelas. Betapa tidak, dulu singkong identik dengan makanan orang kampung. Atau, mohon maaf, banyak yang merendahkan dengan mengatakan sebagai makanan orang miskin.

Ingat lagu "Singkong dan Keju" yang populer pada dekade 80-an? Dari lirik lagu ciptaan Arie Wibowo itu, anak singkong menjadi simbol rakyat jelata yang dilawankan dengan anak keju sebagai simbol bagi kalangan gedongan.

Sekarang, seperti ditulis kompas.id (28/5/2021), produk singkong terus bertransformasi dan diminati pasar global. Makanya, pada program food estate yang digulirkan pemerintah, singkong menjadi salah satu jenis tanaman yang digalakkan.

Tentang program food estate itu sendiri, merupakan program "raksasa" yang menjadi upaya terobosan pada periode kedua masa pemerintahan PresidenJoko Widodo, dalam rangka mewujudkan dan menjaga ketahanan pangan dalam negeri.

Program tersebut berjangka panjang dan terintegrasi antara sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan yang sangat luas. 

Sejumlah media memberitakan, lahan yang akan diolah untuk proyek strategis tersebut antara lain dengan mengkonversi eks proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Namun, ada beberapa kritik yang dilontarkan terhadap program food estate. Misalnya yang disuarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), seperti yang diberitakan tribunnews.com (6/1/2021).

Sekjen KPA Dewi Kartika menilai program yang tengah disiapkan pemerintah itu merupakan ancaman terbaru terkait perampasan tanah. Soalnya, lahan yang dibutuhkan begitu besar.

Dewi memberi contoh, pada tahap pertama proyek itu yang dilakukan di Sumatera Utara, sudah menimbulkan konflik agraria dengan wilayah adat di Humbang Hasundutan.

Terlepas dari kritik tersebut, tentu kita berharap proyek food estate akan berhasil dan dampak negatifnya terhadap masalah agraria dan juga terhadap kelestarian lingkungan, telah diantisipasi dengan baik oleh pemerintah.

Dengan demikian, jika singkong menjadi salah satu produk dari food estate, tentu akan meningkatkan produksi singkong Indonesia. Bila perlu, mengalahkan Nigeria, Thailand, dan Brasil, yang sekarang peringkatnya masih di atas Indonesia.

Kembali ke produk olahan dari singkong, sebetulnya sekarang sudah semakin variatif, tidak hanya keripik tradisional. Dan produk tersebut disukai oleh semua kelas, dari orang desa hingga kota besar, dan dari masyarakat kelas bawah hingga kelas atas.

Bahkan, promosi dan penjualannya mulai menggunakan cara e-commerce yang lintas negara. Artinya, mereka yang menangani usaha ini, tak sedikit dari kalangan generasi muda yang melek teknologi.

Lagipula, pelaku UMKM yang mengolah singkong dapat ditemukan secara merata di berbagai daerah. Jika saya mengawali tulisan ini dengan apa yang saya lihat di Sumbar, itu karena saya sedikit banyak mengetahui kondisi di kampung halaman saya tersebut.

Namun, di provinsi lain pun, terutama di Pulau Jawa, juga sangat gampang ditemukan tempat pembuatan makanan olahan dari singkong. Konsumen dengan mudah membeli, baik di kios kecil di pinggir jalan, maupun di supermarket yang ada di mal mewah.

Tak salah keponakan saya menggeluti kebun singkong. Ia sudah berada "di jalan yang benar". Ada pembaca yang tertarik mengikutinya? Tak perlu punya lahan, toh, bisa disewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun