Seorang teman memutuskan membeli mobil baru dan melepas mobil lamanya ke pedagang mobil seken. Mobil yang dilepas adalah Toyota Innova tahun 2009, sedangkan mobil baru yang dipilihnya Toyota Yaris keluaran terbaru.
Tentu saja karena harga mobil lamanya hanya dihargai tak sampai Rp 100 juta, teman ini harus menyiapkan dana yang lumayan besar agar bisa membawa pulang mobil incarannya.
Memang ada pilihan untuk membeli secara kredit. Tapi, karena malas berutang dan tak ingin disibukkan dengan urusan membayar cicilan setiap bulan, si teman ini mantap dengan melakukan pembayaran tunai.
Hanya saja, dia sedikit kecele. Tadinya, ia berharap masih mendapat keringanan pajak pembelian mobil. Dari berita yang dibacanya, sampai akhir Mei 2021 ini, pemerintah masih memberikan fasilitas keringanan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Dengan kebijakan tersebut, PPnBM atas pembelian mobil baru ditiadakan, karena ditulis sebesar 0 (nol) persen, atau berarti ada insentif pajak 100 persen. Adapun pada bulan berikutnya, yakni periode Juni-Agustus 2021, PPnBM hanya diberikan insentif 50 persen.
Bahkan, jika dibeli pada periode September-November 2021, insentif pajaknya tinggal 25 persen, artinya jumlah uang yang harus dikeluarkan konsumen semakin besar untuk komponen pajak atas pembelian mobil.
Masuk akal bila teman saya itu ingin buru-buru membeli mobil, mengingat bulan Mei sudah hampir berakhir. Sayangnya, perhitungan pajak tersebut bukan dihitung saat pemesanan mobil yang telah diikat dengan pembayaran uang muka, tapi saat mobil diserahkan penjual ke si pembeli.
Masalahnya, teman saya dijanjikan pihak dealer mobil, penyerahan mobil baru akan dilakukan sekitar Juli atau Agustus 2021. Jadi, ada inden selama 2 hingga 3 bulan.
Maka, insentif pajak yang dinikmati teman saya hanya 50 persen, bukan 100 persen seperti yang diinginkannya. Ya, daripada tidak dapat insentif sama sekali, masih lumayan.
Pertanyaan saya, dengan inden sekian lama, apakan bisa dikatakan daya beli masyarakat, khususnya konsumen mobil, sudah pulih? Bukankah yang kita baca di media masa, sejak pandemi melanda negara kita, perekonomian nasional mengalami kelesuan luar biasa?
Memang, kalau mengacu pada angka laju pertumbuhan ekonomi nasional, karena dampak pandemi Covid-19, sejak kuartal II 2020, Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif.
Jika pada kuartal II 2020, angkanya minus 5,32 persen, maka pada data terbaru, yakni kuartal I 2021, terjadi perbaikan menjadi minus 0,74 persen.Â
Dugaan para pengamat, termasuk prediksi Kementerian Keuangan, pada akhir tahun ini, Indonesia akan mencatatkan pertumbuhan yang positif.
Namun, jika yang diamati hanya sektor otomotif, tentu parameternya berbeda. Soalnya, yang disorot adalah daya beli kalangan menengah ke atas. Kesan sekilas, kelompok ini masih punya dana menganggur yang selama ini ditempatkan di bank.
Jadi, tak perlu heran bila saat ini membeli mobil baru, terpaksa bersabar menunggu 2 hingga 3 bulan, baru mobilnya diserahkan ke si pemesan. Kondisi ini mirip saja dengan masa sebelum pandemi.
Tapi, jangan buru-buru menyimpulkan daya beli masyarakat sudah pulih. Berbicara masyarakat, artinya membicarakan semua kelas, dari bawah hingga atas. Dan, mayoritas berada di lapisan bawah.
Nah, mereka yang berada di lapisan bawah tersebut banyak yang kehilangan mata pencaharian. Bagaimana memutar roda perekonomian agar lapangan kerja kembali terbuka, menjadi PR terbesar, baik bagi pemerintah, maupun pihak swasta.Â
Salah satu cara memutar roda perekonomian itu adalah bila mereka yang masih punya kekuatan dana, tidak menunda-nunda berbelanja. Maka, dilihat dari sisi ini, membeli mobil baru yang inden 3 bulan itu, dapat dibaca sebagai hal yang positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H