Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

4 Opsi Penyelamatan Garuda Indonesia dan Uang yang Berpindah Kantong

29 Mei 2021   17:45 Diperbarui: 29 Mei 2021   17:53 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pixabay, dimuat merdeka.com

Tulisan saya sebelumnya, yang dapat dibaca di sini, mendapat tanggapan dari kompasianer Tonny Syiariel. Tulisan tersebut tentang program "Work From Bali" (WFB) dalam rangka membantu membangkitkan usaha pariwisata di Bali yang sekarang terpuruk dihantam badai pandemi.

Lalu, Bung Tonny mempertanyakan pemborosan anggaran pemerintah bagi ASN yang akan bekerja dari Bali. Memang, bagi ASN yang ikut program WFB, biaya transportasi dan akomodasinya akan ditanggung oleh pemerintah.

Saya sependapat dengan Bung Tonny bahwa kesan pemborosan tidak terelakkan. Tapi, dugaan saya pengeluaran pemerintah itu sebagian bersifat "keluar dari kantong kanan, masuk ke kantong kiri".

Maksudnya, siapa tahu, yang akan kecipratan dana WFB itu bisa jadi BUMN seperti Garuda Indonesia dan hotel-hotel di Bali yang berstatus BUMN atau anak perusahaan BUMN.

Tentang Garuda Indonesia misalnya, sejak pandemi kondisinya memang lagi "sakit". Buktinya, dari berita detik.com (27/5/2021), terungkap bahwa pemerintah menyiapkan empat opsi untuk menyelamatkan Garuda Indonesia.

Keempat opsi dimaksud adalah memberikan suntikan modal, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi, mendirikan maskapai baru, dan melikuidasi Garuda. 

Meski belum begitu jelas seberapa parah penyakit yang menggerogoti Garuda, namun mudah dipahami, kebijakan pembatasan sosial, termasuk larangan mudik baru-baru ini, telah membuat Garuda berdarah-darah.

Tapi, tulisan ini tidak akan meneruskan topik WFB. Hanya, berkaitan dengan "kantong kiri pindah ke kantong kanan" ini, saya teringat dengan pengalaman sebuah bank besar yang sekitar 10-11 tahun lalu, beberapa nasabah intinya tidak mampu mengembalikan kredit.

Salah satu di antara nasabah inti tersebut adalah maskapai penerbangan yang menjalani rute ke berbagai kota yang bandaranya hanya bisa didarati pesawat berukuran kecil.

Maka, banyak pejabat di kantor pusat bank tersebut, secara bergiliran diberi kesempatan melihat kantor cabang BUMN itu yang tersebar di daerah pelosok. Tentu dengan mewajibkan pejabat tersebut menggunakan pesawat yang dikelola si nasabah inti.

Jadi, pembayaran dari bank untuk pihak maskapai, nantinya akan dikembalikan lagi untuk mencicil tunggakan kredit si nasabah. Oleh karena itu, disebut sebagai pidah kantong.

Pejabat yang "jalan-jalan" merasa senang, menikmati suasana lain. Karyawan di cabang pelosok juga senang, termotivasi oleh kunjungan pejabat pusat, yang langka terjadi. Biasanya yang berkunjung pejabat dari kantor wilayah.

Tapi, mengingat jumlah kredit yang menunggak relatif besar (namanya juga nasabah inti), bantuan kantong kiri-kantong kanan ini hanya tindakan sementara, sekadar memperpanjang napas beberapa saat.

Ibarat badan yang sakit, bantuan antar kantong ini hanya sekadar menghilangkan rasa nyeri. Tapi, penyakit utamanya harus didiagnosa secara tepat, agar resep obat yang diminum bisa menyembuhkan hingga tuntas.

Kalau tidak salah, bukan hanya maskapai tesebut yang dapat bantuan kantong kiri-kantong kanan. Banyak pula karyawan bank yang diminta menginap di hotel milik nasabah atau berbelanja di pusat perbelanjaan milik nasabah.

Nah, untuk menjawab pertanyaan yang ditulis pada bagian awal tulisan ini, menurut saya, dana yang pindah kantong ini akan beraroma pemborosan bila produk atau jasa yang dibeli diada-adakan. Maksudnya, dalam kondisi normal, sebetulnya barang atau jasa itu tidak diperlukan.

Tapi, pemborosan itu tidak boros-boros amat mengingat ada semacam misi penyelamatan. Ini mirip dengan orang tua yang membeli produk yang dijual anaknya (bila anaknya seorang pedagang).

Toh, kalau si anak tidak diselamatkan, akhirnya akan merong-rong orang tuanya juga. Lagipula, orang tua mana yang tega melihat usaha anaknya hancur?

Hanya saja, kembali ke kasus Garuda Indonesia, WFB hanya sekadar membantu sementara. Obat yang seseungguhnya bukan itu. Makanya, opsi yang disiapkan pemerintah bagi maskapai yang menjadi flag carrier RI itu, harus dikaji secara matang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun