Pejabat yang "jalan-jalan" merasa senang, menikmati suasana lain. Karyawan di cabang pelosok juga senang, termotivasi oleh kunjungan pejabat pusat, yang langka terjadi. Biasanya yang berkunjung pejabat dari kantor wilayah.
Tapi, mengingat jumlah kredit yang menunggak relatif besar (namanya juga nasabah inti), bantuan kantong kiri-kantong kanan ini hanya tindakan sementara, sekadar memperpanjang napas beberapa saat.
Ibarat badan yang sakit, bantuan antar kantong ini hanya sekadar menghilangkan rasa nyeri. Tapi, penyakit utamanya harus didiagnosa secara tepat, agar resep obat yang diminum bisa menyembuhkan hingga tuntas.
Kalau tidak salah, bukan hanya maskapai tesebut yang dapat bantuan kantong kiri-kantong kanan. Banyak pula karyawan bank yang diminta menginap di hotel milik nasabah atau berbelanja di pusat perbelanjaan milik nasabah.
Nah, untuk menjawab pertanyaan yang ditulis pada bagian awal tulisan ini, menurut saya, dana yang pindah kantong ini akan beraroma pemborosan bila produk atau jasa yang dibeli diada-adakan. Maksudnya, dalam kondisi normal, sebetulnya barang atau jasa itu tidak diperlukan.
Tapi, pemborosan itu tidak boros-boros amat mengingat ada semacam misi penyelamatan. Ini mirip dengan orang tua yang membeli produk yang dijual anaknya (bila anaknya seorang pedagang).
Toh, kalau si anak tidak diselamatkan, akhirnya akan merong-rong orang tuanya juga. Lagipula, orang tua mana yang tega melihat usaha anaknya hancur?
Hanya saja, kembali ke kasus Garuda Indonesia, WFB hanya sekadar membantu sementara. Obat yang seseungguhnya bukan itu. Makanya, opsi yang disiapkan pemerintah bagi maskapai yang menjadi flag carrier RI itu, harus dikaji secara matang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H