Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bos Wanita Marah Besar, Gelas Melayang di Depan Mata

23 Mei 2021   14:31 Diperbarui: 23 Mei 2021   14:35 1245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seumur-umur saya bekerja, katakanlah selama tiga dekade, sebetulnya pengalaman saya dimarahi bos, tidaklah banyak. Yang saya ingat, tidak lebih dari jumlah jari sebelah tangan.

Dari pengalaman yang sedikit itu, justru yang paling berkesan adalah saat saya punya bos seorang wanita, sebut saja namanya Bu Voni. Dan parahnya lagi, ketika itu saya sudah punya posisi yang relatif tinggi, di mana saya adalah wakil kepala divisi, sedangkan si bos menjabat kepala divisi.

Yang saya syukuri, si bos cukup bijak dalam memarahi saya, karena saya dipanggil ke ruangannya, lalu pintu dikunci. Sehingga, para bawahan saya tidak melihat langsung saya dimarahi. Paling tidak, saya tidak terlalu malu.

Tapi, apakah memang bawahan saya tidak tahu? Apalagi, si bos saking tidak bisa menahan emosi, gelas belingnya dilempar ke dinding di depan mata saya. Dan bunyi "prraaanggg" yang lumayan keras, pasti membuat mereka yang berada di luar ruangan sudah menduga apa yang terjadi.

Setelah si bos mengeluarkan semua uneg-unegnya, saya diminta keluar. Kemudian si bos mengunci pintu, artinya untuk sementara jangan diganggu. Sebelum keluar, saya hanya tertunduk lemas sambil berkali-kali memohon maaf kepada si bos atas kesalahan saya.

Begitu keluar ruangan, saya langsung ke belakang mencari Si Otong, seorang petugas cleaning service. Saya katakan bahwa ada gelas pecah di ruang Bu Voni. Maksud saya, begitu Bu Voni pulang, agar Si Otong segera membersihkannya.

Nah, apa kesalahan saya sehingga si bos menjadi demikian marah? Tidak biasanya Bu Voni seperti itu. Sebagai wanita, pada dasarnya Bu Voni seorang yang ramah dan lembut tutur katanya.

Begini, saya bekerja di divisi yang mengurus akuntansi di kantor pusat sebuah BUMN yang bergerak di bidang jasa keuangan. Di divisi tersebut terdapat beberapa bagian, salah satunya bagian yang menyusun laporan keuangan.

Laporan keuangan disusun setiap bulan, namun khusus untuk laporan triwulanan (Maret, Juni, September, dan Desember), disusun dalam bentuk buku, yang disebut juga long form report.

Jangan dikira bukunya tipis. Ada sekitar 200 halaman tebalnya, dan ada deadline yang harus dipatuhi karena dikirim ke pihak luar seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).

Yang membuat buku tersebut jadi tebal, karena harus dibuat uraian bersifat naratif atas setiap pos pada laporan keuangan. Sedangkan pada laporan bulanan, cukup berupa laporan keuangan semata, tanpa narasi.

Laporan tanpa narasi itu, untuk posisi akhir Maret, Juni, September dan Desember, wajib diumumkan minimal pada 2 koran nasional. Bagi pembaca koran Bisnis Indonesia, Kontan, atau Investor Daily, tentu sering melihat iklan berupa laporan keuangan dari sebuah perusahaan jasa keuangan.

Alur penyusunan long form report dimulai dari beberapa staf bagian laporan keuangan yang menyusun draft. Tentu itu setelah mereka menghimpun data laporan keuangan dari seluruh kantor cabang yang diolah secara sistem. 

Kemudian draft tersebut diperiksa oleh Wakil Kepala Bagian Laporan Keuangan, dan selanjutnya diperiksa lagi oleh Kepala Bagian Laporan Keuangan.

Baru setelah itu ke meja saya sebagai Wakil Kepala Divisi Akuntansi. Ketika saya memeriksa, setiap halaman pada bagian kanan bawah sudah penuh dengan paraf pertanda sudah diperiksa oleh staf, wakil kepala bagian, dan kepala bagian.

Jika saya setuju, saya juga akan membubuhkan paraf di setiap halaman. Jika ada yang saya temukan kekeliruan, saya akan kembalikan ke kepala bagian untuk dikoreksi lagi.

Adakalanya karena terdesak waktu dan sudah percaya pada kepala bagian dan jajarannya, saya hanya memeriksa secara cepat saja, lalu membubuhkan paraf. 

Setelah saya memaraf untuk semua halaman, baru diteruskan ke Bu Voni selaku kepala divisi. Selanjutnya disampaikan ke Direksi. Adapun yang dikirim ke instansi luar, surat pengantarnya ditandatangani oleh Direksi, yang biasanya dilakukan Direktur Keuangan dan Direktur Utama.

Nah, sekarang tentang kesalahan saya. Suatu kali, pada laporan keuangan yang sudah diumumkan di media cetak, ternyata ada angka yang keliru. Kekeliruan tersebut ditemukan karena ada pertanyaan dari pihak luar ke Bu Voni yang meragukan akurasi angka pada pos tertentu.

Setelah diteliti ulang oleh Kepala Bagian Laporan Keuangan dan stafnya, ternyata betul, ada kekeliruan yang cukup fatal. Inilah yang membuat Bu Voni marah besar. Awalnya Bu Voni marah di depan para staf yang terlibat, kemudian baru saya dipanggil ke ruangannya.

Meskipun penyebab kekeliruan itu cuma pada satu pos saja, tapi akibatnya berpengaruh ke beberapa pos lain. Mau tak mau harus dibikin ralat di koran yang sama. 

Ralat tersebut ditulis dalam satu kotak kecil karena hanya berisi pos-pos yang keliru saja, dengan menjelaskan apa yang tertulis sebelumnya, dan angka apa yang seharusnya tercantum.

Masalahnya, ralat seperti itu sangat jarang terjadi, karena sudah diperiksa secara berlapis. Bahkan saat master cetakan untuk versi koran sudah jadi, juga sudah dicek oleh beberapa orang.

Jadi, sekian lapis orang yang memeriksa laporan, tak satu pun yang betul-betul teliti kata per kata atau angka per angka. Dan saya sebagai palang pintu terakhir sebelum laporan disajikan ke Bu Voni, dinilai lalai dan main percaya begitu saja ke anak buah.

Selama bekerja dengan Bu Voni, saya merasa belum sampai berada di lingkungan kerja toksik. Tentu saja kesalahan itu menjadi pelajaran yang amat mahal bagi saya agar lebih teliti lagi.

Pelajaran penting lainnya, jangan anggap bos wanita tidak bisa marah. Bu Voni telah membuktikan bahwa jika anak buahnya melakukan kesalahan yang fatal, gelas pun jadi pelampiasan kemarahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun