Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Belanja Online, dari Mata Turun ke Dompet Digital

21 Mei 2021   13:07 Diperbarui: 21 Mei 2021   13:50 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. jalantikus.com

Sebagai orang jadul, saya sering geleng-geleng kepala menyaksikan gaya dua orang anak saya yang ketagihan belanja online. Memang tidak setiap hari, tapi sering pengantar barang datang ke rumah.

Padahal, saya termasuk orang yang selalu waspada bila ada orang tak dikenal mengetuk pintu pagar atau berteriak mengucap salam. Apalagi, anak saya kalau belanja online, tak pernah bilang-bilang, sehingga saya kaget bila tiba-tiba ada tamu mendadak.

Lebih tidak enaknya, salah satu anak saya yang memesan barang, karena sudah bekerja, sering tidak di rumah saat barang diantar. Jadi, tentu saja saya tidak tahu apakah barang yang diantar telah sesuai dengan pesanan si anak.

Saya perlu hati-hati karena pernah terlanjur menerima barang yang ternyata salah alamat, harusnya ke rumah di jalan yang dekat dari rumah saya, meskipun dengan nomor rumah yang sama.

Makanya, setelah kejadian itu, bila ada pengantar barang lagi, saya dari balik pagar bertanya dulu kepada si pengantar barang, siapa nama penerima dan alamat lengkapnya di mana. Bila ia menyebut nama anak saya, baru saya menerima barang tersebut.

Saya sendiri masih tetap setia berbelanja secara konvensional, baik di mal dengan harga pas, maupun dengan tawar menawar di pasar tradisional.

Yang jelas, barang apa yang akan saya beli sudah saya cek dulu kondisinya. Tapi, tentu saja pola tradisional itu punya kelemahan mendasar, yakni membutuhkan waktu, tenaga, dan uang untuk berangkat dari rumah ke pasar atau mal dan pulang kembali ke rumah.

Adapun dengan berbelanja secara online, bisa dilakukan sambil rebahan atau duduk manis sambil ngopi-ngopi cantik. Hanya saja perlu kewaspadaan agar konsumen tidak mengalami penipuan. 

Dari pengalaman anak saya, alhamdulillah belum pernah mengalami penipuan atau menerima barang yang tak sesuai dengan yang dipesan.

Kiatnya, kata anak saya, spesifikasi barang betul-betul diteliti secara rinci sebelum dibeli, review atas barang tersebut dari testimoni yang ada betul-betul oke, dan jumlah followers-nya banyak.

Saya memahami kenapa testimoni sangat penting, tapi ditulis oleh pihak yang independen. Soalnya, bila semata-mata berdasarkan apa yang dilihat di layar smartphone atau laptop, termasuk riskan.

Independensi dari pihak yang mereview akan terlihat bila yang ditulis tidak hanya pujian terhadap barang, melainkan juga ada sisi kelemahannya. Namun, biasanya disertai kiat agar sisi kelemahan tersebut bisa diminimalisir.

Padahal, kalau berbelanja langsung di toko atau di mal, calon pembeli bisa memegang barang, bisa mencium, bisa mencicipi (untuk makanan yang disediakan tester), dan untuk pakaian bisa dicoba di fitting room.

Katalog yang bagus sangat penting bagi pelaku bisnis yang menjual barang secara online, sehingga bagi mereka yang melihatnya diharapkan berlaku prinsip "dari mata turun ke dompet".

Maksudnya, bikin mereka jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu mereka bersemangat mengeluarkan isi dompetnya untuk mendapatkan barang yang dilihatnya.

Dompet dalam konteks saat ini tentu tidak berarti uang tunai saja, bisa juga berupa kartu debit, kartu kredit, atau dompet digital. Pokoknya semua alat pembayaran yang diterima dalam perdagangan online, karena ada bermacam pilihan metode pembayaran.

Katalog yang bagus itu harus terlihat cantik, tapi maksudnya bukan untuk menipu konsumen. Makanya, apa yang terlihat difoto, sebaiknya faktanya memang seperti itu.

Kembali ke anak saya, meskipun pengalamannya selama ini hepi-hepi saja dalam belanja online, saya tak bosan-bosannya mengingatkan agar ia lebih berhemat. Jangan terlalu gampang berbelanja.

Soalnya, anak bungsu saya sudah mahasiswi dan uang jajannya tak lagi saya berikan per hari atau per minggu. Tapi, ia membuka rekening tabungan di sebuah bank, lalu saya transfer sejumlah uang yang relatif besar, karena juga untuk membayar SPP, membeli buku dan keperluan kuliah lainnya.

Masalahnya, ternyata selain untuk keperluan kuliah, rekeningnya cepat sekali melorot karena belanja online. Lalu ia akan merengek agar saya mentransfer sejumlah dana lagi ke rekeningnya.

Sedangkan kakak si bungsu itu, yang juga getol belanja online, seperti yang saya tulis di atas, ia sudah bekerja. Tapi, sebagai staf baru di sebuah perusahaan, gajinya standar untuk seorang sarjana yang baru diterima bekerja.

Maka, tetap saja, si kakak pun saya sering menasehati agar tidak boros dalam berbelanja. Saya ingin memotivasinya untuk lebih rajin menabung, atau kalau bisa berinvestasi sesuai kemampuannya.

Ringkasnya, perdagangan online merupakan hal yang positif, baik bagi konsumen, produsen, pedagang, maupun penyedia aplikasi. Tapi, masing-masing pihak dituntut kemauan baiknya untuk selalu menjalankan perannya masing-masing serta menyadari hak dan kewajibannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun