Nah, ketika itulah, panitia dengan pintar menciptakan kondisi tertentu sehingga terjadi lomba sumbangan antar perantau. Jika perantau asal Riau misalnya menyumbang Rp 500.000, panitia akan mengumumkan nama penyumbang dan jumlah sumbangannya.
Kemudian panitia akan "menantang" perantau asal Medan, agar jangan mau kalah dengan Riau. Berikutnya juga memancing perantau asal Jakarta, atau yang dari Malaysia.
Puncaknya pada acara salat ied, tepatnya sebelum salat, panitia akan heboh, bersorak menggunakan mikrofon. Semuanya memancing mengalirnya sumbangan dari kantong para jamaah, terutama mereka yang datang dari rantau.
Akibatnya, salat ied bisa terlambat dimulai karena waktu yang dibutuhkan untuk minta sumbangan relatif lama. Hal seperti ini jarang ditemukan di luar Sumbar.
Jangan tanyakan apakah sumbangan seperti itu jadi "tercemar" karena ada unsur pamer diri. Biarlah soal keikhlasan ini, menjadi ranah pribadi masing-masing penyumbang.
Yang jelas, konsekuensi para perantau akan "ditodong" telah disadari oleh para perantau, karena budaya seperti itu sudah berlangsung sejak lama, diperkirakan dari dekade 1970-an.
Makanya, perantau Minang tidak setiap tahun melakukan mudik lebaran. Hanya mereka yang telah mengumpulkan uang relatif besar yang mudik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H