Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Tak Ada Parsel, Mentahnya Boleh Juga

8 Mei 2021   18:00 Diperbarui: 9 Mei 2021   15:25 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi parsel lebaran. Foto: Alethea Pricila Sianturi/Kompas

Pada Kamis pagi (6/5/2021), sebelum ke kantor, saya singgah di bank tempat saya punya rekening tabungan yang terletak di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Tujuan saya untuk mentransfer uang ke beberapa orang yang nama dan nomor rekeningnya sudah saya kantongi.

Mungkin karena saya generasi lama yang tidak begitu cekatan menggunakan teknologi canggih seperti bertransaksi dengan internet banking, maka jika saya melakukan beberapa transaski dan secara total jumlahnya cukup lumayan menurut ukuran kantong saya, saya lebih suka dilayani teller bank.

Masalahnya, begitu saya sampai di lobi bank, saya terkaget-kaget melihat nasabah yang lagi antre demikian panjang yang berbaris di dua jalur. Untung saja ada satpam yang mengawasi antrean, sehingga protokol kesehatan tetap dijaga.

Saya merasa terbantu ketika ditanya oleh satpam apa keperluan saya. Begitu saya menjawab mau mentransfer, saya langsung disuruh masuk. Ternyata mereka yang antre punya tujuan lain, yakni menukarkan uang. 

Baru saya ingat, bahwa sudah mendekati lebaran, uang pecahan kecil dalam kondisi baru, yang nomor serinya masih urut dalam satu bundel, dibutuhkan banyak orang. Biasanya uang tersebut dibagikan pada anak-anak, keponakan, atau kerabat yang bertemu saat lebaran.

Sebetulnya saya pun juga punya kebiasaan yang sama. Cuma, stok uang baru pecahan kecil saya pada lebaran tahun lalu, masih lumayan sisanya, dan dugaan saya cukup untuk memenuhi kebutuhan lebaran tahun ini.

Karena saya tidak ikut antre, alhamdulillah, saya langsung dilayani oleh salah seorang teller, sehingga urusan saya di bank tersebut cepat selesai.

Adapun orang yang saya kirimi uang, sebagian berdomisili di Jabodetabek, dan sebagian di kampung halaman saya, Sumatera Barat. 

Terhadap yang tinggal di Jabodetabek, saya sengaja memilih mentransfer uang sebagai bingkisan lebaran, meskipun ada alternatif lain yakni mengirim parcel.

Sedangkan bagi mereka yang tinggal di luar daerah, mengirim parcel menurut saya menjadi kurang praktis. Selain karena ongkos kirim yang relatif mahal, sampainya barang di alamat tujuan bisa berhari-hari, dan itu pun ada risiko kerusakan barang di perjalanan.

Lalu, kenapa bagi mereka yang tinggal di Jabodetabek saya tidak mengirim parcel saja? 

Pertama, saya tidak yakin barang yang saya pilih merupakan barang yang dibutuhkan si penerima. Jika si penerima diberikan mentahnya, sangat mungkin ia akan membeli barang yang berbeda dengan yang saya kirim.

Kedua, meskipun saya bukan orang penting, saya tidak punya banyak waktu untuk memilih parcel, mengirimkannya melalui perusahaan jasa ekspedisi, serta memantau progres pengiriman hingga barang diterima oleh orang yang saya tuju.

Ketiga, dugaan saya, si penerima akan lebih suka menerima uang ketimbang barang, seperti yang telah saya singgung pada alasan pertama di atas.

Keempat, dalam berinteraksi di media sosial dengan karib kerabat, saya sering membaca komentar yang mungkin bercanda, tapi saya anggap ada benarnya. Komentar tersebut berbunyi: "tak usah repot-repot kirim parcel, kirim mentahnya aja".

Mungkin cukup banyak orang yang berpikiran seperti saya, sehingga banyak keluhan dari pelaku usaha parcel akan sepinya pembeli, meskipun momen lebaran merupakan momen yang paling diharapakannya.

Sepinya bisnis parcel sebetulnya sudah berlangsung sejak sekitar 10 tahun terakhir. Apalagi sekarang ini ditambah dengan faktor pandemi Covid-19. 

Tepatnya, sejak pemerintah melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin kencang membasmi korupsi, sejak itu pula bisnis parcel mulai redup.

Lho, apa hubungannya parcel lebaran dengan korupsi? Penerima parcel berpotensi dinilai menjadi penerima gratifikasi. Soalnya, sebelum ada KPK, mereka yang punya kedudukan di sebuah instansi lazim menerima parcel dari pihak yang berurusan dengan instansi tersebut.

Sedangkan gratifikasi itu sendiri, merupakan salah satu bentuk dari korupsi. Jadi, ketentuan yang berlaku saat ini, para pegawai negeri dan BUMN pada level tertentu wajib melaporkan hadiah yang diterimanya ke KPK.

Tak heran, bila menjelang lebaran, banyak perusahaan milik negara atau kementerian tertentu yang memasang iklan di media cetak berisikan larangan bagi pegawainya untuk menerima atau memberikan hadiah, termasuk bingkisan lebaran.

Padahal, dengan membeli parcel, terutama yang dibuat oleh para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tentu akan sangat bermanfaat dalam menyelamatkan bisnis UMKM. 

Tapi, kembali ke transfer yang saya lakukan, saya juga punya kiat tersendiri. Kepada pemerima "mentahnya aja", saya minta agar dibelanjakan ke pelaku UMKM di kota kediamannya. 

Berbelanja ke teman sendiri, ke anggota keluarga yang punya bisnis, atau ke tetangga, akan lebih baik, karena perwujudan dari saling membantu.

dok. tribunnews.com
dok. tribunnews.com
.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun