Meskipun saya terbilang lancar kalau menulis, tapi tidak demikian kalau berbicara. Contohnya, bila lagi kumpul-kumpul dengan teman-teman, saya lebih banyak diam. Biarlah teman lain yang mendominasi pembicaraan, saya cukup nimbrung sekadarnya.
Namun, bila saya lagi berkumpul secara sangat terbatas dengan dua atau tiga orang saja yang juga rada pendiam, saya tak sungkan untuk lebih banyak bersuara. Tapi, tetap saya akan meminta tanggapan teman-teman atas apa yang saya omongkan.
Demikian juga perilaku saya di media sosial, mirip dengan saya di dunia nyata. Jika saling berkomentar di grup, relatif jarang saya laukan. Saya baru nongol sebentar jika mengucapkan belasungkawa atau mendoakan bila ada teman yang lagi sakit.Â
Atau, saya akan muncul ketika semua anggota grup mengucapkan selamat lebaran atau mengucapkan selamat ulang tahun kepada seorang anggota yang lagi berulang tahun.
Tapi, jika ngobrol di media sosial secara japri atau melibatkan segelintir orang saja, saya bisa menghabiskan waktu lama. Namun, itupun kalau topiknya saya sukai atau saya anggap penting.
Nah, paparan berikut ini bukan tentang bagaimana saya bermedia sosial. Saya mencoba menuliskan pandangan saya atas postingan orang lain di media sosial. Karena sekarang lagi dalam bulan suci Ramadan, saya khususkan pada soal pamer ibadah di media sosial.
Pada hakikatnya, ibadah bersifat personal, artinya tidak perlu diketahui orang lain, apalagi untuk menuai pujian. Masalahnya, adakalanya seseorang yang sudah menyatu dengan media sosial, secara otomatis memposting aktivitasnya beribadah.
Maka, jangan heran begitu banyak bertebaran foto atau video orang yang lagi berbagi santunan kepada anak yatim, lagi ikut pengajian, atau saat umroh di tanah suci.Â
Sekali diposting, foto atau video itu menjadi milik publik. Berbagai komentar, terutama yang memuji, berpotensi membuat si pengirim terlena. Akhirnya, memposting ibadah di media sosial menjadi candu tersendiri di era sekarang.
Baik, kalau begitu, sebaiknya kita mulai menahan diri untuk tidak terlalu royal memposting foto atau video saat beribadah. Namun, perlu dicamkan, jangan pula sampai "mengharamkan" sama sekali memposting foto seperti itu.
Bukankah di sisi lain, ada semacam kewajiban kita untuk berdakwah, menyampaikan jalan kebenaran kepada orang lain? Mengirim foto atau video, dapat dilihat sebagai salah satu sarana yang menginspirasi orang lain untuk berbuat baik.
Jadi, akhirnya semua terpulang kepada niat saat memposting foto. Jika diniatkan untuk menuai pujian, misalnya agar disebut sebagai orang alim dan orang yang dermawan, ini yang yang perlu dihindari. Jangan terjebak dengan keriuhan di media sosial.
Foto seseorang yang lagi diwisuda, sedang menerima sertifikat penghargaan, sedang berbicara di forum seminar yang berskala nasional, bahkan internasional, adalah contoh yang saya maksud.
Sama dengan soal ibadah, foto atau video dan postingan lain yang berkaitan dengan pencapaian prestasi tersebut juga sangat bergantung pada niat yang terkandung di balik itu.Â
Bila dari awal sudah menginginkan mendapat banjir pujian, ingin dibilang orang hebat, orang cerdas, dan sebagainya, harap berhati-hati. Ini bisa bikin ketagihan.
Lama-lama, tanpa disadari, bisa saja mereka yang sering dipuji menjadi besar kepala alias sombong. Lalu, orang lain akan dipandang dengan sebelah mata. Padahal, harusnya saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Semua orang pada dasarnya punya kelebihan dan kelemahan. Dengan saling berbagi, termasuk melalui media sosial, tentu akan saling melengkapi.
Jika niatnya untuk saling berbagi tersebut, termasuk niat untuk menggugah orang lain agar gigih dalam berjuang mencapai cita-citanya, tentu boleh-boleh saja. Kisah sukses seperti itu diharapkan menjadi contoh yang baik.
Masalahnya, sangat tidak mudah mengetahui niat seseorang yang memposting di media sosial. Makanya saya tidak mau menebak-nebak, tapi senantiasa berprasangka baik.Â
Memang, adakalanya saya ikut memberikan pujian, adakalanya saya diamkan saja. Yang saya diamkan bukan berarti saya meragukan niat baiknya. Toh, sekali lagi, saya tidak tahu apa niat teman yang memposting.
Hanya saja, saya bisa membayangkan betapa senangnya hati teman yang memposting ketika menuai banyak sekali puja puji. Begitu juga kekesalannya ketika postingannya tidak mendapat tanggapan apa-apa, atau malah mendapat tanggapan yang bersifat negatif.
Tulisan ini saya tutup dengan pesan yang mungkin klise, yakni bijaklah bermedia sosial. Bagaimana kriteria bijaknya, silakan takar sendiri.
Pada umumnya, semua yang "terlalu" konotasinya kurang bagus. Terlalu sering muncul di media sosial mungkin sama tidak bagusnya dengan terlalu jarang. Ya, yang sedang-sedang saja, lebih oke.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H