Jadi, akhirnya semua terpulang kepada niat saat memposting foto. Jika diniatkan untuk menuai pujian, misalnya agar disebut sebagai orang alim dan orang yang dermawan, ini yang yang perlu dihindari. Jangan terjebak dengan keriuhan di media sosial.
Foto seseorang yang lagi diwisuda, sedang menerima sertifikat penghargaan, sedang berbicara di forum seminar yang berskala nasional, bahkan internasional, adalah contoh yang saya maksud.
Sama dengan soal ibadah, foto atau video dan postingan lain yang berkaitan dengan pencapaian prestasi tersebut juga sangat bergantung pada niat yang terkandung di balik itu.Â
Bila dari awal sudah menginginkan mendapat banjir pujian, ingin dibilang orang hebat, orang cerdas, dan sebagainya, harap berhati-hati. Ini bisa bikin ketagihan.
Lama-lama, tanpa disadari, bisa saja mereka yang sering dipuji menjadi besar kepala alias sombong. Lalu, orang lain akan dipandang dengan sebelah mata. Padahal, harusnya saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Semua orang pada dasarnya punya kelebihan dan kelemahan. Dengan saling berbagi, termasuk melalui media sosial, tentu akan saling melengkapi.
Jika niatnya untuk saling berbagi tersebut, termasuk niat untuk menggugah orang lain agar gigih dalam berjuang mencapai cita-citanya, tentu boleh-boleh saja. Kisah sukses seperti itu diharapkan menjadi contoh yang baik.
Masalahnya, sangat tidak mudah mengetahui niat seseorang yang memposting di media sosial. Makanya saya tidak mau menebak-nebak, tapi senantiasa berprasangka baik.Â
Memang, adakalanya saya ikut memberikan pujian, adakalanya saya diamkan saja. Yang saya diamkan bukan berarti saya meragukan niat baiknya. Toh, sekali lagi, saya tidak tahu apa niat teman yang memposting.
Hanya saja, saya bisa membayangkan betapa senangnya hati teman yang memposting ketika menuai banyak sekali puja puji. Begitu juga kekesalannya ketika postingannya tidak mendapat tanggapan apa-apa, atau malah mendapat tanggapan yang bersifat negatif.