Untungnya tetangga saya tidak mau tahu urusan tetangganya. Memang begitulah gaya hidup di sekitar tempat tinggal saya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Antar tetangga tidak akrab. Kalau kebetulan berpapasan, saling menegur seperlunya saja.
Saya mengamati, bukan hanya di Tebet, sebagian besar lingkungan di ibu kota memang seperti itu, tidak lagi kenal baik dengan tetangga. Kecuali, di sebagian kawasan padat penduduk dengan rumah kecil berdempetan dan gang sempit, budaya bertetangga masih terlihat.
Tapi, bukan berarti saya tidak mendengar apa omongan tetangga. Hanya saja, tetangga yang saya maksud adalah tetangga di kantor tempat saya bekerja.
Memang begitulah gaya hidup di kota, yang lebih saling mengenal adalah antar teman sekantor atau satu pabrik, ketimbang antar tetangga di rumah.
Jangan dikira karena lagi berpuasa, di kantor sepi dari omongan yang bisa dinilai sebagai menggunjingkan orang lain atau bergosip ria. Soal nilai puasanya berkurang, ya tak terlalu dipikirkan.
Jangan pula mengira hanya ibu-ibu atau para karyawati yang asyik ngerumpi. Laki-laki pun, walau tidak sesering wanita, juga tanpa disadari, senang bergosip.
Seperti yang saya alami, di kantor saya cukup akrab dengan Eko, seorang auditor. Sebetulnya Eko relatif pendiam. Tapi mungkin karena cocok dengan saya yang juga agak pendiam, kami jadi akrab.
Nah, sering sambil makan siang bersama, tanpa sengaja Eko menceritakan rahasia seputar pejabat tinggi di kantor tempat kami bekerja. Karena Eko seorang auditor, menurut saya informasi dari Eko, sebagian besar akurat.
Tidak saja karena auditor, sumber informasi Eko sangat beragam. Ia relatif dekat dengan beberapa pejabat di kementerian tertentu yang punya hubungan kerja dengan perusahaan tempat kami mengabdi.
Saya lebih sering sebagai pendengar yang baik, bila Eko terlihat serius dalam bercerita. Dugaan saya, Eko demikian gampang menceritakan info miring tentang seseorang yang terpandang di tempat kami, karena tahu saya tidak bakal menceritakannya kepada teman lain.
Bagi saya memang ada dilemanya terlibat pembicaraan intens dengan Eko. Di satu sisi, ini mungkin sudah termasuk bergunjing. Tapi, di sisi lain, saya menjadikannya pelajaran berharga bagi diri sendiri tentang apa yang perlu saya lakukan dan apa yang perlu saya hindari dalam meniti karier.
Bukankah kita bisa belajar dari pengalaman orang lain? Tapi, saya sangat berhati-hati, berusaha keras tidak akan menceritakan aib orang lain kepada siapapun.
Lho, memangnya yang diceritakan Eko berkaitan dengan aib seseorang? Menurut pemahaman saya, ya kalau sudah mencakup sesuatu yang negatif tentang seseorang, itu merupakan aib bagi yang orang yang diceritakan.
Tentu dengan catatan, hal negatif yang diceritakan Eko tersebut benar adanya. Jika tidak benar apa yang dikatakan Eko, maka jatuhnya sudah melakukan fitnah.
Begini, jika saya ringkaskan, topik cerita Eko kebanyakan berkaitan dengan "tiga ta", yakni tahta, harta, dan wanita. Ya, gosip tentang tiga ta yang dilakukan sejumlah pejabat di tempat kami bekerja, selalu mengundang keingintahuan saya yang lebih dalam.
Contohnya, bila ada seorang teman yang tiba-tiba kariernya melesat demikian cepat, Eko punya cerita di balik itu. Betul, aturan promosi jabatan di tempat saya bekerja, sudah ada aturan bakunya. Namun, bumbu soal koneksi dengan "orang kuat" tetap saja diduga terjadi.
Soalnya, bila mengacu pada mereka yang memenuhi syarat untuk meraih jabatan yang masuk lapisan atas, terlalu banyak kandidatnya. Padahal posisi yang tersedia sangat sedikit.
Apalagi, untuk jabatan yang lebih atas, katakanlah untuk jadi seorang direktur. Saya sering terkaget-kaget melihat nama-nama di luar perkiraan, mampu duduk di posisi yang sangat strategis itu. Nah, Eko punya analisis yang mendukung terpilihnya figur tidak terduga itu.
Itu baru soal ta yang pertama alias tahta. Cerita ta yang kedua, menurut saya lebih seru. Saya jadi terpana, pejabat yang pada dasarnya sudah bergaji besar berikut dengan fasilitas yang wah, masih saja berusaha mencari sabetan.
Benarlah kata orang, keinginan berburu harta itu ibarat candu, tak ada batasnya. Tentu pejabat yang bermain memakai taktik yang lebih canggih. Kalau misalnya nanti terdeteksi, jejaknya hanya berhenti pada pegawai rendah, sehingga si pejabat terselamatkan.
Nah, yang bikin saya ketagihan berbincang-bincang dengan Eko, bila ia sudah menyinggung soal ta yang ketiga, masalah wanita. Pejabat pun banyak yang lihai dalam berselingkuh.
Di sinilah saya tahu tentang beberapa karyawati yang jadi anak emas dari bos-bos. Modusnya bermacam-macam. Ada yang berfungsi seperti dayang-dayang, selalu ada di sisi bos, sehingga para karyawan pun memaklumi saja.
Ada pula yang selalu dibawa kalau si bos melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Tapi, modus yang lebih banyak dipakai adalah yang bersifat rahasia. Di kantor seperti tidak terjadi apa-apa, tapi setelah jam pulang kantor, si bos dan selingkuhannya bertemu di suatu tempat.
Begitulah omongan tetangga versi orang kantoran, tak jauh dari masalah tiga ta. Mengasyikkan memang kalau lagi ngobrol-ngobrol seperti itu. Setelah itu, silakan mengambil hikmahnya.Â
Contoh baik boleh saja ditiru, misalnya tentang bagaimana kegigihan seorang teman belajar bermain golf hingga akhirnya bisa dikenal baik oleh para petinggi perusahaan.Â
Sedangkan contoh buruk seperti perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, atau terlibat affair dengan wanita idaman lain, jangan diikuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H