Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Hidup Butuh Perjuangan, Jangan Sampai Tua Jadi Benalu

27 April 2021   17:10 Diperbarui: 29 April 2021   02:00 4044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber: Element Envanto

Jika ketika usia muda masih belum jadi apa-apa, menurut saya wajar-wajar saja. Meskipun tak sedikit anak muda yang sudah meraih jabatan tinggi di suatu instansi atau perusahaan, tapi kehidupan antar sejumlah orang yang usianya sama atau dulunya satu angkatan waktu sekolah, tak bisa diperbandingkan begitu saja.

Ada anak muda yang berhasil karena terlahir dari keluarga kaya. Ada pula yang begitu mendapatkan pekerjaan, beruntung ditempatkan di tempat yang "basah".  Sebaliknya ada yang bekerja keras membanting tulang, tapi nasibnya masih begitu-begitu saja, dapat uang hanya sebatas cukup untuk makan sehari-hari.

Yang penting, asal seseorang sudah mengalami kemajuan dari masa ke masa, sesedikit apapun kemajuan itu, menurut saya merupakan sesuatu yang pantas disyukuri. Makanya, dalam merancang target hidup, seseorang harus realistis dengan melihat berbagai faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahannya.

Anak muda saat ini sebetulnya sangat beruntung karena banyak terbantu oleh kemajuan teknologi. Namun, kecanggihan teknologi tersebut ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi menjadi sarana yang sangat membantu anak muda yang kreatif sehingga muncul berbagai inovasi yang bernilai ekonomis. 

Itulah yang membuat bisnis anak muda bisa melonjak omzetnya dengan memanfaatkan promosi, perdagangan, dan transaksi secara online (dalam jaringan).

Namun, di sisi sebaliknya, kemajuan teknologi bisa membuat seseorang terlena sebagai user semata-mata. Akibatnya, bukan menghasilkan uang, malah harus mengeluarkan uang buat membayar paket langganan atau membeli sesuatu.

Baik, bagaimanapun juga, masa muda memang identik dengan masa penuh coba-coba. Artinya, sekiranya masih belum jadi apa-apa, jangan terlalu kecewa. Ada kesadaran untuk bangkit, sudah merupakan hal yang positif.

Tapi, alangkah ironisnya bila ada orang yang sampai tua, sudah punya anak-anak yang sudah dewasa, masih bergantung pada kemurahan hati sanak famili atau teman-temannya.

Mungkin tidak terlalu tepat, tapi saya mengibaratkan orang yang seperti itu sebagai benalu, yakni tumbuhan yang mengambil makanan dari tumbuhan lainnya.

Ada dua contoh yang merupakan kisah nyata, yang saya mengikuti perkembangannya, untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan orang yang sampai tua masih belum punya pegangan buat kehidupan keluarganya. Bisa dikatakan bahwa mereka terlalu manja dan tak punya target hidup.

Pertama, seorang yang bernama Robi. Umurnya 49 tahun, belum tua memang. Tapi, dengan gaya hidup seperti selama ini, mungkin sampai tua akan tetap seperti itu.

Robi adalah anak tunggal dari ayah dan ibu yang masing-masingnya adalah pejabat di sebuah kabupaten. Tapi, sudah cukup lama ayah dan ibunya meninggal dunia. Meskipun berkat koneksi orang tuanya, Robi bisa jadi PNS sebagai pegawai pemda, tapi karena malas bekerja, Robi kemudian tidak lagi jadi PNS.

Ketika harta peninggalan orang tuanya masih bisa dijual, Robi masih bisa hidup nyaman. Bahkan Robi tiga kali menikah. Tentang proses pernikahannya ini saya tidak tahu pasti ceritanya. Yang jelas, istrinya yang sekarang adalah istri ketiga, dan dua istri sebelumnya telah bercerai dengan Robi.

Setelah harta peninggalan orang tuanya habis, Robi dengan mengandalkan kemampuannya berbicara, seolah-olah ada proyek yang digarapnya, sering minta bantuan uang ke famili atau temannya, sekadar menunggu proyek yang diomongkannya kelar.

Tapi, lama-lama orang lain tidak lagi percaya pada Robi, karena proyek tersebut hanya khayalannya saja. Kemudian, Robi terang-terangan minta bantuan ke sanak familinya secara bergiliran. Bulan ini minta ke famili A, bulan depan ke famili B, lalu setelah sekian bulan, kembali ke si A lagi.

Ada famili yang karena kasihan atau ingat kebaikan orang tua Robi dulunya, dengan senang hati membantu semampunya. Namun, ada juga famili yang meskipun punya uang, kapok membantu Robi, paling hanya setahun sekali saja, sewaktu mau lebaran.

Begitulah kisah Robi, entah sampai kapan ia seperti itu. Katanya, ia sudah mulai berjualan makanan yang dimasak oleh istrinya. Namun, karena dampak Covid, jualannya malah sering rugi.

Kedua, ini kisah dari seorang yang sebut saja namanya Murni, ibu dari 5 orang anak. Anak tertuanya bahkan telah menikah dan memberikan seorang cucu buat Murni. Usia Murni juga belum tua, masih di awal 50-an tahun.

Murni memang kurang beruntung nasibnya, karena sudah cukup lama menderita sakit. Sayangnya, suaminya yang seharusnya giat bekerja, malah dengan dalih mendampingi istrinya yang sakit, sering di rumah kecil yang dikontraknya.

Makanya, justru Murni yang rajin mengirim pesan singkat ke sejumlah sanak familinya (secara bergiliran seperti cara yang ditempuh Robi di atas), menuliskan tentang sakit yang dideritanya dan sekaligus memohon bantuan.

Ada seorang famili yang ingin membantu mengurus kartu BPJS untuk Murni agar ia gratis berobat, tapi ada saja alasan Murni yang membuat ia hingga sekarang belum punya kartu BPJS.

Sebetulnya tanpa meminta pun, dalam suatu keluarga besar, sejak maraknya media sosial yang memepermudah komunikasi, kebanyakan sudah ada koordinasi untuk saling membantu. 

Di bawah koordinasi orang yang tertua atau dituakan di sebuah keluarga besar, pada momen tertentu akan ada gerakan pengumpulan dana dan kemudian dibagikan kepada anggota yang kehidupannya belum seberuntung yang lain.

Salah satu momen tertentu itu adalah seperti bulan puasa sekarang ini. Masalahnya, belum lagi gerakan pengumpulan dana itu dimulai, orang-orang yang bermental senang meminta, sudah mendahului menghubungi satu persatu familinya yang dinilai punya uang, untuk minta bantuan.

Yang menjadi pertanyaan, usaha nyata dari mereka yang bermental benalu tersebut, tidak kelihatan. Itu yang membuat sebagian orang patah arang untuk memberikan bantuan.

Lain halnya bila mereka sudah berusaha, misalnya bercocok tanam, berdagang, atau usaha lainnya, dan kebetulan (bukan terus-terusan) usahanya mengalami kerugian atau terkena bencana, tentu sangat wajar mereka memohon bantuan.

Tumbuhan benalu (dok. atmago.com)
Tumbuhan benalu (dok. atmago.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun