Keberanian seorang Sandi, petugas di Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Depok, Jawa Barat, dalam mengungkapkan dugaan korupsi di instansinya, menjadi berita hangat beberapa hari yang lalu.
Seperti diberitakan kompas.com (15/4/2021), Sandi memposting foto berisi protes terhadap dugaan korupsi di Damkar Depok. Dalam foto itu, Sandi berdiri di depan mobil damkar sambil memegang selembar poster.
Tulisan pada poster itu berbunyi; "Bapak Kemendagri Tolong!!! Untuk tindak tegas pejabat di Dinas Pemadam Kebakaran Depok!!! Kita dituntut kerja 100% tapi peralatan di lapangan pembeliannya tidak 100%, banyak digelapkan!!!
Ada dua hal yang diprotes Sandi. Pertama, pengadaan perlengkapan yang tidak sesuai spesifikasi, khususnya pengadaan sepatu pakaian dinas lapangan (PDL) yang antara mutu dan harganya tidak sebanding.
Pada pagu anggarannya, sepasang sepatu dihargai Rp 850.000. Namun, Sandi melihat secara online, sepatu dengan gambar yang persis, spesifikasi dan merek yang sama, harganya di kisaran Rp 400.000.
Kedua, Sandi mengaku tidak menerima hak-hak finansialnya secara penuh. Menurut Sandi, anggota disuruh tanda tangan Rp 1,7 juta, tapi menerima uang setengahnya, yakni Rp 850.000. Dana tersebut untuk menyemprot disinfektan waktu awal Covid-19.
Pada bagian berikutnya, tulisan ini tidak lagi berkaitan langsung dengan kasus dugaan korupsi Damkar Depok. Lagipula, kasus tersebut sudah ditindaklanjuti pihak aparat hukum terkait dan pihak Damkar Depok memastikan bakal kooperatif. Apakah cerita versi Sandi di atas mengandung kebenaran atau tidak, kita tunggu saja.
Tapi, terlepas dari kasus tersebut, secara umum, soal pengadaan perlengkapan yang tidak sesuai spesifikasi, sebetulnya sudah lagu lama. Namun, seharusnya sekarang ini modus seperti itu tidak lagi dilakukan.
Begitu juga penerima uang yang menandatangani kuitansi seolah-olah menerima dalam jumlah besar, tapi yang betul-betul diterimanya lebih kecil. Modus honor yang disunat ini seharusnya juga tidak lagi terjadi, itu cerita lama. Bukankah sekarang para pekerja sudah semakin kritis.
Apalagi, sekarang ini di banyak instansi sudah diterapkan whistleblower system (WBS). Dengan WBS tidak perlu aksi protes seperti yang dilakukan Sandi dalam kasus dugaan korupsi Damkar Depok di atas.
Secara harfiah, WBS artinya adalah peniup peluit. Tapi, agar tidak menimbulkan kerancuan, WBS masih sering disebut atau ditulis dalam bahasa Inggris. Dengan WBS, semua personil di sebuah instansi atau perusahaan, mempunyai media untuk menyampaikan protesnya terkait ulah pekerja atau pejabat lain.
Bila yang dilaporkan di WBS adalah seorang atasan, maka WBS tersebut dialamatkan kepada atasan dari atasan tersebut (pejabat dua lapis di atas posisi si pelapor).
Kerahasiaan si pelapor akan sangat dijaga dalam WBS, meskipun sebagian yang dilaporkan mungkin saja tidak terbukti bersalah. Banyak contoh di perusahaan milik negara, pejabat yang terkena hukuman setelah terbukti melakukan pelanggaran yang dilaporkan memakai WBS.
Masalahnya, tidak banyak karyawan yang berani melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di tempatnya bekerja. Seperti hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang ditulis kompas.id (19/4/2021), korupsi masih marak terjadi saat pengadaan barang dan jasa.
Hal tersebut diketahui  oleh mayoritas pegawai negeri sipil. Ironisnya, mereka tidak berani melaporkannya kepada pengawas internal pemerintah, diduga karena pengawas internal berada di bawah kendali kepala daerah.
Kurangnya pengawasan, nepotisme, dan campur tangan politik, mengacu kepada hasil survei di atas disebutkan sebagai faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.
Namun demikian, bila melapor kepada pengawas internal dirasakan kurang efektif, seharusnya menjadi kesempatan bagus untuk memperkuat fungsi WBS di tiap-tiap instansi.
WBS tidak hanya berlaku buat pelaporan dugaan korupsi. Semua pelanggaran kepegawaian pada dasarnya bisa dilaporkan, tentu dengan beberapa bukti atau indikasinya.
Selain korupsi, pelanggaran kesusilaan, termasuk pelecehan seksual dari atasan ke bawahan, juga rawan terjadi. Hal ini dapat dilaporkan memalui mekanisme WBS.
Pada instansi atau perusahaan yang WBS-nya sudah berjalan dengan baik, ada unit kerja yang ditugaskan untuk menerima dan menindaklanjuti semua laporan yang diterima, yang langsung berada di bawah kendali pejabat tertinggi (kalau di perusahaan, di bawah direktur utama).
Dulu, sebelum ada WBS, ada anak buah yang mengirim surat kaleng, yakni surat tanpa nama pengirim ke atasannya atau orang nomor satu di suatu instansi. Surat itu berisikan pengaduan perilaku atau tindakan seseorang yang melanggar peraturan kepegawaian.
Tapi, karena tidak diatur mekanismenya, tindak lanjut atas surat kaleng susah untuk ditelusuri. Pada akhirnya surat kaleng lebih sering dianggap fitnah dan diabaikan begitu saja.
Dengan WBS, prosedurnya lebih jelas karena ada ketentuan tertulisnya, demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik atau tata kelola perusahaan yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H