Bila yang dilaporkan di WBS adalah seorang atasan, maka WBS tersebut dialamatkan kepada atasan dari atasan tersebut (pejabat dua lapis di atas posisi si pelapor).
Kerahasiaan si pelapor akan sangat dijaga dalam WBS, meskipun sebagian yang dilaporkan mungkin saja tidak terbukti bersalah. Banyak contoh di perusahaan milik negara, pejabat yang terkena hukuman setelah terbukti melakukan pelanggaran yang dilaporkan memakai WBS.
Masalahnya, tidak banyak karyawan yang berani melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di tempatnya bekerja. Seperti hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang ditulis kompas.id (19/4/2021), korupsi masih marak terjadi saat pengadaan barang dan jasa.
Hal tersebut diketahui  oleh mayoritas pegawai negeri sipil. Ironisnya, mereka tidak berani melaporkannya kepada pengawas internal pemerintah, diduga karena pengawas internal berada di bawah kendali kepala daerah.
Kurangnya pengawasan, nepotisme, dan campur tangan politik, mengacu kepada hasil survei di atas disebutkan sebagai faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.
Namun demikian, bila melapor kepada pengawas internal dirasakan kurang efektif, seharusnya menjadi kesempatan bagus untuk memperkuat fungsi WBS di tiap-tiap instansi.
WBS tidak hanya berlaku buat pelaporan dugaan korupsi. Semua pelanggaran kepegawaian pada dasarnya bisa dilaporkan, tentu dengan beberapa bukti atau indikasinya.
Selain korupsi, pelanggaran kesusilaan, termasuk pelecehan seksual dari atasan ke bawahan, juga rawan terjadi. Hal ini dapat dilaporkan memalui mekanisme WBS.
Pada instansi atau perusahaan yang WBS-nya sudah berjalan dengan baik, ada unit kerja yang ditugaskan untuk menerima dan menindaklanjuti semua laporan yang diterima, yang langsung berada di bawah kendali pejabat tertinggi (kalau di perusahaan, di bawah direktur utama).
Dulu, sebelum ada WBS, ada anak buah yang mengirim surat kaleng, yakni surat tanpa nama pengirim ke atasannya atau orang nomor satu di suatu instansi. Surat itu berisikan pengaduan perilaku atau tindakan seseorang yang melanggar peraturan kepegawaian.
Tapi, karena tidak diatur mekanismenya, tindak lanjut atas surat kaleng susah untuk ditelusuri. Pada akhirnya surat kaleng lebih sering dianggap fitnah dan diabaikan begitu saja.