Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Anak Bawang yang Langsung Dipanggil "Pak" oleh Karyawan Lain

15 April 2021   10:33 Diperbarui: 15 April 2021   10:35 6019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dipanggil "pak" oleh para karyawan yang jauh lebih tua, membuat saya merasa kurang nyaman. Itulah yang saya alami pada bulan pertama saya diterima bekerja di kantor pusat sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sesuai dengan latar belakang pendidikan saya yang ketika itu baru lulus dari fakultas ekonomi jurusan akuntansi, saya ditempatkan di divisi pembukuan (kemudian berganti nama menjadi divisi akuntansi).

Pembukuan dan akuntansi sebetulnya esensinya sama. Pembukuan konon terjemahan dari bookkeeping merupakan tata cara pencatatan gaya lama peninggalan Belanda, sedangkan akuntansi, berkiblat pada buku-buku teks di Amerika Serikat yang cakupannya lebih luas dari sekadar pembukuan.

Saya boleh dikatakan anak bawang ketika itu, yakni pada bulan Juli 1986. Dua minggu pertama saya hanya diminta mempelajari berbagai buku pedoman pembukuan oleh kepala divisi.

Di divisi tersebut terdapat banyak karyawan dan karyawati, seingat saya sekitar 70 0rang. Ingat, ketika itu belum era komputerisasi. Pembukuan dihitung pakai mesin hitung yang gulungan kertas yang menjadi bukti perhitungan bisa sepanjang 2 atau 3 meter. 

Laporan keuangan juga diketik pakai mesin tik manual. Jadi, wajar saja kalau karyawannya sebanyak itu, yang masing-masing sibuk bekerja. Hanya saya dan seorang lagi karyawan baru, yang juga sarjana akuntansi, yang masih membaca-baca saja di dua minggu pertama itu.

Nah, kembali ke soal panggilan "pak", kenapa saya jadi tidak nyaman? Ya, karena itu tadi, saya kan lebih muda. Saya belum paham bahwa "pak" itu bisa karena faktor usia atau karena penghormatan atau dituakan. 

Awalnya saya sampai berpikir, apakah saya tergolong "bermutu" (bermuka tua)? Atau, jangan-jangan saya dipanggil pak sebagai sindiran. Mana tahu, kehadiran saya tidak diterima dengan baik. 

Atau, boleh jadi itu semacam bullying bagi karyawan baru. Tapi, gaya mereka berbicara tidak menunjukkan gelagat ke arah bullying, malah cenderung menghormati.

Setelah saya selidiki, ternyata di divisi itu, yang sarjana tidaklah banyak, hanya 7 orang. Jadi, saya dan seorang teman yang baru masuk menjadi sarjana ke 8 dan 9. 

Beberapa tahun setelah itu, baru terjadi penerimaan sarjana yang lebih banyak, sehingga jumlah sarjana dan non-sarjana lebih berimbang. Bahkan, sekarang yang sarjana menjadi mayoritas.

Mereka yang direkrut dengan kualifikasi sarjana, memang "kasta"-nya lebih tinggi dari yang lain. Jadi, meskipun saya waktu itu masih berstatus masa percobaan (istilah resminya "tenaga bulanan lepas" atau TBL), tapi begitu menjadi karyawan tetap, pangkatnya sudah sama dengan banyak karyawan yang jauh lebih tua yang dulu masuk dengan ijazah SMA.

Belakangan saya paham, bapak-bapak itu sengaja memangil karyawan baru yang sarjana dengan "pak", agar nanti ketika orang baru sudah punya posisi, mereka tidak kagok, karena sudah dari awal membiasakan diri memanggil pak.

Hal ini terlihat jelas dengan beberapa teman saya yang masuk dari level SMA tapi umurnya tidak berbeda jauh dengan saya. Karena sering bareng-bareng makan siang di warteg dekat kantor, kami saling memanggil nama saja.

Namun, ketika saya akhirnya menjadi atasan mereka, saya melihat mereka agak kagok mengganti panggilan dari menyebut nama, menjadi "pak". Padahal, andai saya tidak dipanggil "pak", sebetulnya tidak masalah bagi saya.

Begitulah budaya kerja di BUMN ketika itu, masih kentara dengan unggah ungguh. Hal ini berbeda dengan karyawan swasta, apalagi yang di luar negeri, anak buah memanggil nama ke bosnya, biasa saja, tanpa "pak" atau mister.

Maka, mau tak mau, saya yang orang Sumatera merasa perlu belajar tata krama pergaulan dengan teman-teman saya dari suku Jawa dan Sunda dan menerapkannya. 

Menurut saya, tata krama ini cukup mendukung juga perjalanan karier seseorang di BUMN, meskipun hanya menjadi syarat tidak tertulis. Tapi, pada era reformasi, sudah mulai berubah, karyawan yang vokal pun, mulai dapat posisi.

Namun, tidak semua yang memanggil "pak" kepada saya itu berpandangan positif. Saya ingat, ada seorang bapak yang secara tidak sengaja saya menguping pembicaraannya dengan orang lain.

Kata si bapak (sambil menyebut nama saya tanpa pak), saya itu enak banget, karena gajinya sudah sama besar dengannya, walaupun saya anak kemarin sore.

Tapi, dalam hati, saya berterima kasih ke si bapak yang berkomentar miring tersebut. Saya jadi terpacu untuk bekerja lebih giat, sehingga saya merasa wajar gajinya sama dengan orang tua yang dulu masuk dengan latar belakang SMA.

Intinya, saya berusaha bekerja gigih dan menghormati semua orang di divisi yang saya tempati, baik terhadap yang pangkatnya lebih tinggi, maupun yang lebih rendah dari saya. Itulah kiat yang saya lakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun