Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Penglaju di Jabodetabek, Masih di Kendaraan Umum Ketika Azan Magrib Berkumandang

22 April 2021   17:27 Diperbarui: 22 April 2021   17:47 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Antara, dimuat beritasatu.com

Bagi warga Jabodetabek, tentu sudah sangat paham, betapa parahnya tingkat kemacetan di jalan raya pada jam-jam sibuk. Ketika subuh hingga pagi hari, dari berbagai penjuru di kawasan yang berbatasan dengan DKI Jakarta, iring-iringan kendaraan sepeti laron menuju berbagai sentra perkantoran.

Sentra perkantoran itu meskipun tersebar, tapi mayoritas berada di sepanjang jalan protokol seperti Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Rasuna Said, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan S. Parman.

Demikian pula di sore hari hingga sekitar pukul 9 malam, iring-iringan bak laron itu berdesak-desakan di jalan raya dari sentra perkantoran ke berbagai kawasan pinggiran seperti Depok, Bogor, Bekasi dan Tangerang.

Terhadap jutaan orang yang berperilaku seperti itu (pulang pergi setiap hari, baik memakai kendaraan pribadi, maupun kendaraan umum) disebut dengan penglaju atau komuter.

Awalnya, bagi yang baru melakoni jadi penglaju, mungkin cukup menderita. Tapi lama-lama terbiasa, meskipun banyak yang mengatakan bahwa para penglaju itu "tua di jalan".

Pengguna moda transportasi publik seperti busway (bus Transjakarta, tapi lebih dikenal sebagai busway) dan kereta api, tidak sedikit yang bisa tertidur nyenyak bila dapat tempat duduk di kendaraan.

Selama periode awal pandemi, sekitar Maret-April 2020 lalu, memang tingkat kemacetan di Jakarta jauh berkurang. Hal ini karena sebagian besar orang kantoran bekerja dari rumah. Jadi, pada bulan puasa tahun lalu, tak ada masalah dengan kemacetan di jalan.

Tapi, pada puasa tahun ini, meskipun aturan pembatasan sosial masih berlaku, kepadatan lalu lintas di ibu kota terlihat normal seperti sebelum pandemi.

Lalu, bagi yang bekerja di kantor, selama bulan puasa jam kerja mengalami perubahan, di mana para karyawan pulang lebih awal. Tentu maksudnya agar para karyawan tersebut masih keburu berbuka puasa di rumah masing-masing.

Memang, mengingat tempat tinggal mayoritas karyawan di kawasan pinggiran, yang bahkan sudah berbeda provinsi (bukan lagi DKI Jakarta), maka jika seseorang membutuhkan waktu dua jam untuk sampai di rumah, tergolong wajar. Bahkan, bisa lebih dari itu bila harus dua atau tiga kali berganti moda transportasi.

Tentu waktu tempuh itu sudah masuk perhitungan seseorang yang bekerja di sentra perkantoran dan tinggal di kawasan pinggiran. Artinya, dalam bulan puasa harus berhitung dengan cermat, apakah masih sempat berbuka puasa di rumah. Jika tidak, pilihannya adalah berbuka puasa di kantor, atau berbuka puasa di jalan.

Meskipun sudah berhitung dengan cermat, tetap saja, adakalanya kondisi kemacetan sangat parah di luar dugaan. Maka, jalan terbaik, selalu siaga dengan mengantongi air minum dalam kemasan dan beberapa potong kue atau beberapa biji kurma untuk membatalkan puasa.

Dengan demikian, tidak ada lagi kecemasan bagi para penglaju ketika azan magrib berkumandang, padahal masih di dalam kendaraan umum.

Masalahnya, selama pandemi, ada ketentuan tidak boleh makan dan minum bagi penumpang kereta api. Tapi, khusus selama bulan puasa, manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) Commuter, yang melayani antar stasiun se Jabodetabek, membolehkan penumpang berbuka puasa.

Sebetulnya, jika tidak siap dengan minuman dan makanan untuk membatalkan puasa, di pinggir jalan banyak para penjaja yang menawarkan air minum dalam kemasan dan makanan kecil. 

Tapi, demi kenyamanan, tanpa memandang mau macet atau tidak, alangkah baiknya para penglaju telah menyiapkan bekal dalam tasnya.

Ya, begitulah derita para penglaju di Jabodetabek yang berpuasa. Bisa jadi pelaksanaan ibadah agak terganggu, tidak bisa salat magrib, salat isya dan salat tarawih secara berjamaah.

Kenikmatan berbuka bersama dengan keluarga tercinta pun, tidak gampang dilakukan. Sesampainya di rumah, dalam kondisi yang lelah, harus buru-buru membersihkan diri seperti yang disosialisasikan pemerintah tentang protokol kesehatan.

Haruskan para penglaju mengeluh? Jika tak mampu mengelola emosi, justru indikasi ibadah puasanya belum berjalan dengan baik. Bukankah hakikat puasa itu berupa pengendalian diri, termasuk menghadapi kondisi yang tidak nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun