Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Persaingan Antar Saudara, Ketika Telur Dadar Dibagi Delapan

11 April 2021   10:10 Diperbarui: 11 April 2021   10:35 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak lama saya berpikir ketika sibling rivalry atau persaingan antar saudara, diangkat sebagai salah satu topik pilihan di Kompasiana. Soalnya, yang saya jalani sekarang ini, hubungan saya dengan kakak dan adik saya, boleh dikatakan saling mendukung, tidak ada persaingan apa-apa.

Demikian pula anak-anak saya, tidak terlihat ada persaingan di antara mereka. Bahkan, saya bersyukur 3 anak saya sering saling membantu sesamanya.

Namun, setelah saya ingat-ingat, ada beberapa catatan saya di waktu kecil yang mungkin ada relevansinya dengan persaingan antar saudara. Itulah yang saya paparkan berikut ini.

Saya anak ke 4 dari 7 bersaudara. Saya persis di tengah, punya 3 orang kakak dan 3 orang adik. 3 kakak saya terdiri dari 2 perempuan dan seorang laki-laki, persis sama komposisinya dengan 3 adik saya.

Kata orang, anak tengah ingin diistimewakan. Soalnya, perhatian orang tua biasanya lebih tertuju kepada anak sulung dan anak bungsu. Entah ada benarnya anggapan tersebut, yang jelas, ketika kecil saya dinilai galia (bahasa Minang untuk culas) oleh saudara-saudara.

Kami punya orang tua yang penghasilannya ala kadarnya saja. Di dekade 1970-an, awalnya tak ada barang berharga yang kami punyai. Hanya ada 1 buah sepeda yang dipakai ayah setiap hari ke kedai tempat beliau berjualan dan 1 buah radio sebagai sarana hiburan.

Tapi, pada tahun 1975 ayah mampu membeli tape recorder dan beberapa kaset lagu-lagu pop. Kemudian, tahun 1979 sebuah televisi hitam putih yang mampu menangkap siaran TVRI menjadi hiburan utama kami. 

Ibu membagi tugas harian untuk setiap anak. Saya kebagian menyapu halaman pakai sapulidi setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Sedangkan kakak-kakak ada yang menyapu rumah, ada yang mencuci piring, dan sebagainya.

Masalahnya, saya dari kecil sudah pembaca koran yang lahap. Meskipun waktu itu yang dibaca sebatas berita olahraga. Ketika itu bulutangkis Indonesia tengah jaya-jayanya, dan saya hafal skuad tim bulutangkis Indonesia yang berhasil merebut Piala Thomas tahun 1970.

Nah, itulah yang mebuat kakak-kakak menyindir saya, karena saya sibuk dengan koran, ketika seharusnya bekerja. Namun, giliran makan bersama, saya paling rajin.

Jangan bayangkan lauk yang dibikin ibu waktu itu pakai menu daging ayam atau sapi. Kalau ingin makan daging, ya ketika lebaran. Di hari-hari biasa, menu tahu, tempe, telur dan sayur yang sering kami nikmati.

Giliran ibu saya bikin telur dadar yang dibagi 8 (agar kebagian semua anak), saya yang memilih duluan. Yang menurut saya ukurannya paling besar, langsung saya ambil.

Memang, ibu sudah berusaha membelah telur seadil mungkin. Tapi, bagaimanapun juga, irisannya akan ada bagian yang sedikit lebih besar dan yang sedikit lebih kecil.

Inilah yang disindir kakak saya, giliran makan rajin, kalau bekerja malas. Ya, sekadar mencari alasan, sampai sekarang ini saya punya kelemahan di bidang ketrampilan yang bersifat fisik.

Namun, untuk pekerjaan yang membutuhkan kerajinan membaca, menganalisis dan menulis, saya merasa berbakat. Sayangnya, hal ini tidak termasuk dalam tugas yang dibagi ibu saya.

Disindir kakak tidak jadi masalah buat saya, karena tampaknya kakak bercanda dan sudah memaklumi sifat saya. Alhamdulillah, berkat didikan ibu, tidak pernah di antara kami yang sampai adu mulut, apalagi berantem. 

Lagipula, sifat saya yang tidak patut ditiru tersebut hanya hingga saya tamat SD. Setelah itu berangsur-angsur hilang. Kemudian, saat dewasa, tepatnya sejak saya mulai bekerja, saya bertekad meringankan beban orang tua dengan membantu biaya kuliah adik-adik.

Saya merasa beruntung, karena dengan kemampuan ekonomi orang tua yang pas-pasan, akhirnya saya berhasil menyelesaikan kuliah. Dan yang juga sangat saya syukuri, saya tidak mengalami masa menganggur karena langsung mendapatkan pekerjaan.

Tanpa mengecilkan peran ayah, saya yakin doa ibu yang sering salat tahajud dikabulkan Allah. Keluarga kami yang dulu "kurang dianggap" pada pertemuan keluaga besar kakek saya dari pihak ayah, kemudian mulai diperhitungkan.

Dengan kesadaran bahwa pendidikan sangat berperan dalam mengubah nasib, saya memotivasi adik-adik untuk kuliah. Padahal ketika adik saya kuliah, penghasilan ayah saya sudah anjlok. Wajar kalau saya dan kakak lain yang mampu, membantu adik-adik.

Jadi, jelas bahwa tidak ada rivalitas di antara kami bersaudara sampai saat ini, bahkan juga rivalitas antar saudara ipar tidak terjadi. Menurut saya, kunci dari kekompakan kami, adalah didikan orang tua di waktu kecil.

Bahwa catatan saya di atas ada pernak-pernik berbau rivalitas, itu hanya sekadar penghangat cerita saja, bahan lucu-lucuan kalau reuni keluarga.

O ya, reuni kami yang terakhir adalah 2019 lalu di Lembah Harau, Payakumbuh, Sumbar. Saya tujuh bersaudara membawa masing-masing keluarga, termasuk beberapa orang cucu dari kakak-kakak saya.

Rencananya, bila badai pandemi Covid-19 telah berlalu, kami segera reuni lagi, meskipun lokasinya belum diputuskan. Bisa di Sumbar, Riau, atau Jabodetabek, karena di situlah kami tersebar.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun