Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Salah Profesi? Tak Masalah, yang Penting Logika Berpikirnya

26 Maret 2021   07:46 Diperbarui: 28 Maret 2021   06:04 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. shutterstock, melalui magazine.job-like.com

Salah profesi merupakan salah satu hal yang sering menghantui mereka yang bekerja di suatu instansi, perusahaan, atau organisasi lainnya, namun merasa tidak cocok dengan minat, bakat, dan kepribadiannya. Atau, juga tidak sejalan dengan latar belakang bidang kesarjanaannya.

Jika Anda termasuk yang merasa "terjebak" bekerja di tempat yang salah profesi, Anda perlu meluangkan waktu sejenak melakukan perenungan. Coba ukur seobjektif mungkin, seberapa jauh Anda merasa melenceng dari jenis pekerjaan yang Anda idam-idamkan.

Perlu dicamkan, semua hal, jika ada kemauan, pasti bisa dipelajari. Jadi, masalahnya bukan pada kemampuan, tapi kemauan. Membangkitkan kemauan inilah yang sulit bagi orang yang merasa berada di tempat yang salah.

Bahkan, orang yang menilai dirinya sebagai pendiam, atau katakanlah tergolong introvert, tetap bisa sukses menjadi staf pemasaran yang mengharuskan bertemu orang banyak untuk mencari pelanggan. Justru dengan tidak banyak omong, calon pelanggan merasa yakin tidak akan dikibuli.

Perbankan merupakan bidang yang tidak begitu ketat dengan latar belakang kesarjanaan karyawannya atau calon karyawan yang diincarnya. Jangan heran bila di bank ada sarjana sastra, sarjana agama, sarjana kesejahteraan sosial, bahkan juga sarjana antropologi.

Saat ini, di sebuah bank BUMN, salah satu direkturnya, seorang perempuan yang sarjana kedokteran gigi. Demikian pula ada seorang kepala divisi yang dokter hewan, juga perempuan. Tidak nyambung bukan dengan bisnis perbankan?

Padahal, bila mau dicocok-cocokkan, perbankan harusnya hanya menerima lulusan S1 dari fakultas ekonomi, hukum, teknologi informasi, teknik industri, agribisnis, dan yang masih berdekatan dengan itu.

Tapi, jangan buru-buru bilang dokter gigi tidak cocok dengan bank. Karena, yang diperlukan bank bukan bidang keilmuannya, melainkan logika berpikirnya. Toh, semua yang lolos seleksi akan memasuki tahap on the job training (OJT) terlebih dahulu.

Nah, ketika OJT itu, justru anak lulusan fakultas ekonomi sering nilainya di bawah anak non-ekonomi. Diduga karena anak ekonomi menganggap enteng, sedangkan yang non-ekonomi sangat antusias mempelajari bidang yang baru dikenalnya.

Begitulah, akhirnya di dunia perbankan, tak sedikit orang nomor satunya berasal dari bidang studi yang jauh dari bisnis bank. Contoh paling pas adalah seorang Budi Gunadi Sadikin, yang sekarang adalah Menteri Kesehatan.

Budi Gunadi Sadikin sejatinya adalah seorang sarjana di bidang fisika nuklir Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, beliau punya karier yang cemerlang di bidang perbankan hingga dipercaya menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, bank dengan aset di atas Rp 1.000 triliun.

Sekali lagi, bukan bidang studi formalnya yang penting, tapi logika berpikirnya yang dibutuhkan pada berbagai bidang pekerjaan. Sarjana apapun itu, bila diraih secara benar, pasti telah mengasah kemampuan berpikir analitis, berpikir konseptual, dan berpikir strategis. 

Logika berpikir itulah yang menjadi bekal utama dalam meniti karier, selain yang juga bersifat mutlak adalah faktor integritas dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain. 

Bahwa pengetahuan formal sesuai bidang studi juga ikut mempengaruhi, tentu tak bisa dipungkiri. Tapi, ini bukan faktor dominan. Dalam banyak referensi disebutkan bahwa faktor knowledge ini, kalah penting dengan faktor skill dan attitude.

Perlu pula direnungkan tentang kondisi umum dunia ketenagakerjaan di negara kita saat ini. Sangat tidak gampang mencari pekerjaan. Makanya, kalau tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang kita cintai, cobalah cintai apa yang kita kerjakan.

Tapi, bila dari hasil perenungan, Anda sudah berada pada titik nadir, yang mau diapapun juga, sudah sulit membangkitkan semangat, ya apa boleh buat, resign mungkin jawaban yang tepat.

Pertimbangannya, daripada menimbulkan dampak psikologis yang parah, lebih baik mencari tempat baru. Tentu dengan bersiap-siap menerima segala konsekuensinya, termasuk menganggur beberapa lama. Makanya, dana darurat perlu disediakan sebelum berhenti bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun