Jalan tol di Pulau Sumatera sejak beberapa tahun terakhir ini tengah dikebut pembangunannya. Sebagian di antaranya sudah mulai beroperasi, seperti yang menjadi kebanggaan masyarakat Riau, dengan tersambungnya tol yang menghubungkan dua kota terbesar di provinsi penghasil minyak tersebut, Pekanbaru dan Dumai.
Niat saya untuk menjajal jalan tol Pekanbaru-Dumai, akhirnya kesampaian juga pada hari Sabtu (13 Maret 2021) yang lalu.Â
Tulisan berikut ini merupakan pengalaman langsung saya dan beberapa orang kerabat yang menyertai saya dalam perjalanan tersebut.
Kami berempat baru saja selesai makan siang di Rumah Makan Baresolok, Jalan Ahmad Yani di pusat kota Pekanbaru. Ketika itu penanda waktu di hape saya menunjukkan angka 15.01. Ini saya anggap sebagai titik start keberangkatan kami.
Gerbang tol Pekanbaru sendiri tidak berada di pusat kota, tapi melewati kawasan Rumbai, pinggir kota arah ke timur. Karena di kawasan pusat kota juga padat kendaraan, kami butuh sekitar 30 menit untuk mencapai gerbang tol.Â
Tapi, perjalanan 30 menit tersebut tidak membosankan, karena ibu kota provinsi Riau itu relatif tertata dengan baik.Â
Jalan protokolnya lebar dan gedung-gedung pemerintahan di sekitarnya cukup menawan dengan arsitektur Melayu Riau. Kemudian, saya juga melewati Jembatan Siak IV, sebuah jembatan yang ikonik di Pekanbaru.
Iseng-iseng saya mencari informasi melalui sejumlah media daring tentang jalan tol yang akan saya lewati. Ternyata, jalan tol pertama di Riau itu panjangnya 131,5 km, yang dapat ditempuh selama 90 menit.Â
Namun, bila dihitung dengan waktu sebelum masuk tol dari pusat kota, dan waktu ke pusat kota Dumai setelah keluar tol, maka lamanya perjalanan menjadi sekitar 150 menit alias dua setengah jam.
Waktu tempuh seperti itu telah memangkas cukup signifikan dibandingkan sebelum ada jalan tol. Dulu, jarak Pekanbaru-Dumai sekitar 200 km yang waktu tempuhnya sekitar 5 jam. Bahkan, bisa lebih lama bila terdapat iring-iringan truk di jalan.
Saya sungguh menikmati kualitas jalan tol Pekanbaru-Dumai yang mulus. Ya, wajar saja, karena masih baru. Tinggal dilihat lagi setelah beberapa tahun, apakah kondisinya tetap mulus.Â
Sebagai catatan, jalan tol ini diresmikan Presiden Jokowi pada 25 September 2020. Tapi, setahu saya, sebagian ruas tol baru di Jawa ada yang dari aspal beton, sehingga kurang senyaman yang terbuat dari aspal hotmix.
Sebelum mencapai Dumai, ada beberapa pintu keluar tol, yakni Minas (tarif Rp 8.500 dari Pekanbaru), Kandis Selatan (tarif Rp 30.000), Kandis Utara (Rp 45.500), Pinggir (Rp 69.000), dan Bathin Solapan (Rp 95.500).Â
Bagi mereka yang ke Duri, kota yang sebagian penduduknya merupakan karyawan dan mitra usaha perusahaan minyak Chevron, harus keluar di pintu tol Pinggir. Adapun bagi mereka yang ke kota Medan, keluar di Bathin Solapan. Namun, ruas tol ke arah Medan masih dalam proses pembangunan.
Bagi saya, memandang area kebun sawit, lumayan menarik. Jalan ini boleh dikatakan membelah belantara sawit. Memang, setelah era minyak mulai berkurang, yang sekarang menghidupi Riau adalah sawit. Â
Di beberapa spot ada "savana", padang rumput yang luas dan memanjakan mata. Savana ini sebetulnya juga kebun sawit yang sedang dalam tahap replanting.
Kendala bagi mereka yang melewati jalan tol Pekanbaru-Dumai adalah terkait dengan rest area yang terkesan masih bersifat darurat. Hanya ada 2 rest area di jalur sepanjang 131,5 km itu. Itu pun belum menyediakan tempat pengisian bahan bakar, sehingga pengendara harus mempersiapkannya sebelum masuk tol.
Sedangkan di Pekanbaru-Dumai, hanya ada musala kecil. Toilet pun juga sederhana tampilannya. Konon, airnya masih didatangkan dengan tangki dalam jumlah yang terbatas, sehingga dalam kondisi ramai yang ke toilet, terjadi kelangkaan air.
Secara struktur, jalan tol Pekanbaru-Dumai bisa dibagi atas dua bagian. Pertama, Pekanbaru-Duri yang masih di atas tanah. Kedua, Duri-Dumai yang tanahnya dominan rawa, sehingga struktur jalan tol berupa jembatan panjang, mirip di Bali. Hanya saja, di Bali jembatan panjang di atas laut, di sini jembatan di atas tanah rawa yang membelah kebun sawit dan hutan bakau.
Dugaan saya, ada banyak pengendara yang membutuhkan waktu lebih cepat, karena melaju dengan sangat kencang, mungkin sekitar 140 km per jam. Seharusnya, bila mengacu pada peringatan yang tertulis di rambu-rambu lalu lintas, tidak diperkenankan memacu kendaraan sekencang itu.
Sebagai tambahan, sejak ada jalan tol tersebut, mulai banyak warga Pekanbaru berwisata ke Dumai, untuk menikmati beberapa pantai yang ada di kota pelabuhan itu. Saya pun tak ketinggalan dengan berkunjung ke Pantai Koneng.
Dan setelah saya ke pantai tersebut, kondisi pantainya tergolong lumayan, dengan banyaknya dangau-dangau tempat duduk sambil menikmati air kelapa muda.
Tarif masuk pantai ini Rp 30.000 untuk satu rombongan dalam satu kendaraan. Relatif mahal memang, tapi itu sudah termasuk biaya parkir kendaraan roda empat selama yang dibutuhkan dan duduk di salah satu dangau-dangau.
Apalagi bila jalur kapal feri Malaka-Dumai kembali dibuka, tentu pariwisata Dumai pada khususnya, atau Riau pada umumnya akan lebih menggeliat. Sebelum pandemi, tersedia kapal feri sekali setiap harinya dari Dumai ke negara tetangga itu dan juga sebaliknya.
Kemudian, kalau jalur Dumai-Pekanbaru sudah tersambung dengan tol Pekanbaru-Padang, dampaknya akan lebih dahsyat, bergulir juga pada sektor pariwisata Sumbar. Turis Malaysia selama ini banyak yang menyukai Sumbar dan Riau.