Tempat yang strategis sudah berubah definisinya untuk bisnis yang berkaitan dengan makanan, seperti rumah makan, restoran, dan kafe. Jika dulu, kawasan yang ramai di pusat kota menjadi lokasi favorit para pemburu kuliner, sekarang tempat makan di pedesaan mulai banyak dikunjungi.
Coba saja lihat foto dan video di media sosial. Â Dari berbagai penjuru tanah air, mulai bermunculan tempat makan yang dikelilingi sawah, kolam ikan, atau pemandangan khas pedesaan lainnya.
Tulisan ini menyertakan tiga foto tempat makan di tengah sawah. Foto paling atas merupakan foto yang saya ambil sendiri, sedang dua foto lainnya diambil dari media daring, yakni Cafe Sawah Pujon Kidul di Malang dan Kampung Wisata Sawah, Kabupaten Deli Serdang, sekitar 36 km dari pusat kota Medan, Sumatera Utara.
Tentu saja foto-foto tersebut belum mewakili, karena kalau ditelusuri dari berita daring, demikian banyak saat ini tempat makan di tengah sawah. Sebetulnya bukan hal yang mengejutkan, mengingat budaya makan di luar rumah, terutama di hari libur, semakin marak.
Padahal, para penggemar kuliner tentu ingin ganti suasana, tidak melulu di mal atau di restoran di pusat kota. Memang, harus diakui sekarang terlalu banyak gerai makanan yang menawarkan makanan berbau asing.
Namun demikian, sesuatu yang berbau tradisional, cukup menjanjikan dan mampu bersaing menahan gempuran kuliner waralaba asing, dapat kita temui di mal-mal. Makanya nama restoran yang berbau desa, seperti Bumbu Desa atau nama lain yang mirip, berkembang cukup pesat.
Tapi, kalau dulu nama restoran berbau desa itu membuka gerai di pusat kota, sekarang betul-betul didirikan di desa, seperti yang terlihat pada beberapa foto di tulisan ini.
Keaslian suasana desa dan pemandangan alam, menjadi daya tarik tersendiri, yang tak bisa ditemui di kota. Itu juga yang ingin saya rasakan, pada Jumat (12/3/2021) yang lalu.
Saat itu saya berkesempatan makan siang di sebuah rumah makan yang berlokasi di tengah sawah pada ruas jalan raya yang menghubungkan dua kota di Sumbar, Batusangkar dan Payakumbuh. Tepatnya, di Sungai Tarab, sekitar 6 km dari pusat kota Batusangkar.
Tentang menu makanannya, sangat khas Minang rumahan. Maksudnya, bukan khas yang ada di rumah makan Minang pada umumnya, tapi khas yang ditemui di rumah-rumah warga Minang, karena ada menu ikan sapek yang digoreng, jengkol cabe hijau, tumis kangkung, dan sebagainya.
Sayangnya, pas lagi enak-enaknya makan, datang angin kencang, sehingga ada sedikit debu yang hinggap di makanan dan air minum saya. Untuk air minum, dengan gampang saya minta ganti ke pelayannya. Tapi, untuk makanannya, saya biarkan saja, dengan lebih hati-hati saat menyuap nasi ke dalam mulut.
Memang, aspek kebersihan pada usaha kuliner menjadi hal yang mutlak, selain soal kenikmatan rasa makanan. Meskipun berada di tengah sawah, sebaiknya standar kebersihan dan juga standar pelayanan, tidak kalah dengan restoran di mal-mal megah.
Selain menjaring para wisatawan, potensi pengunjung dari kota-kota sekitar tempat makan, termasuk mereka yang kebetulan lewat, juga besar. Foto-foto di media sosial menjadi alat promosi yang ampuh, sehingga semakin dicari orang.Â
Satu lagi, hampir semua warga sudah punya kendaraan pribadi, minimal motor. Hal ini yang membuat tempat makan di tengah sawah punya prospek yang cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H