Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Resign, Gaya Tidak Sabaran Generasi Milenial

11 Maret 2021   04:40 Diperbarui: 11 Maret 2021   04:55 1836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di masa pandemi yang sudah melanda negara kita selama setahun terakhir ini, banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini menjadi mimpi buruk, karena sebagian besar yang terkena PHK tidak punya sumber penghasilan lain.

Namun, tidak sedikit pula mereka yang mengundurkan diri karena permintaan sendiri. Mereka yang resign tersebut, pada umumnya tergolong generasi milenial yang baru berkarier setahun atau dua tahun di suatu tempat, tapi sudah mulai tidak betah. Atau, ingin mencari tantangan baru dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi.

Tapi, apa betul di masa pandemi ini masih ada perusahaan yang berani membayar pegawainya lebih besar untuk mengisi lowongan yang tersedia? Mungkin tidak banyak, tapi kenyataannya masih ada.

Contohnya, pengalaman anak saya sendiri, yang baru saja resign dari sebuah perusahaan sekuritas demi bergabung di sebuah perusahaan konsultan di bidang teknologi informasi. Katanya, gaji bulanannya 40 persen lebih tinggi dari yang diterimanya di tempat sebelumnya.

Dengan usianya yang masih 25 tahun lewat beberapa bulan, anak saya sudah dua kali resign. Artinya, yang sekarang ini menjadi perusahaan ketiga yang menjadi tempatnya meniti karier. Awalnya di sebuah kantor akuntan publik yang hanya bertahan 6 bulan saja.

Sempat menganggur dua bulan, baru anak saya itu diterima di perusahaan sekuritas. Lumayan, ia betah selama 1 tahun 5 bulan. Nah, sekarang ini memang saya menyarankan jangan mengundurkan diri sebelum ada kepastian diterima di tempat yang lebih baik, dan itu dipatuhinya.

Dari cerita anak saya, teman-temannya juga banyak yang gonta-ganti pekerjaan. Inilah yang membuat saya semakin yakin, generasi milenial memang gampang berpindah-pindah tempat bekerja. Sangat berbeda dengan saya, yang betah 30 tahun berkarier di sebuah BUMN.

Bukannya tidak ada teman-teman saya se-angkatan yang resign. Di BUMN tempat saya bekerja itu, waktu sama-sama melakukan on the job training setelah lolos seleksi penerimaan karyawan baru, ada 43 orang. 

Yang bertahan hingga pensiun, sebanyak 34 orang. 9 orang yang tidak sampai di garis finish itu, terdiri dari 5 orang wanita karena berjodoh dengan sesama karyawan BUMN tersebut (ketika itu kalau menikah sesama teman satu perusahaan BUMN, salah satu terpaksa keluar), 1 orang meninggal dunia di usia 40-an, 1 orang dipecat karena korupsi dan masuk penjara beberapa tahun, dan 2 orang yang betul-betul resign dan bekerja di perusahaan lain.

Sebetulnya, pada dua tahun pertama bekerja, sekitar pada ujung dekade 1980-an, saya sempat melamar di perusahaan swasta. Saat diwawancara, justru saya dinasehati oleh si pewancara bahwa BUMN tempat saya bekerja lebih prospektif. 

Memang gaji yang ditawarkannya sedikit lebih tinggi dari yang saya terima, tapi setelah saya timbang-timbang lagi, saya tidak jadi berpindah kerja. Apalagi setelah itu saya lolos untuk dikuliahkan atas beban dinas untuk mengambil program S-2.

Saya berpikir bahwa meniti karier di BUMN memerlukan kesabaran, karena untuk mendapat promosi jabatan, relatif lebih lambat dari di perusahaan swasta. Tapi, alhamdulillah, saya bisa menikmatinya karena melihat sisi positifnya, seperti sering dikirim ikut pelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri. 

Keuntungan lain yang membuat saya betah, karena saya bekerja di kantor pusat, saya berkesempatan mengunjungi kantor-kantor cabang yang tersebar di berbagai penjuru tanah air. Jadi, hobi berwisata saya tersalurkan sambil bekerja.

Dengan budaya kerja seperti itu, salahkah saya kalau berkesimpulan generasi milenial kurang sabaran dalam bekerja? Paling tidak, indikatornya terlihat dari seringnya mereka berpindah-pindah perusahaan.

Tapi, mungkin juga saya keliru. Pengertian loyalitas saat ini agaknya sudah bergeser, bukan lagi kesetiaan pada satu perusahaan atau satu instansi. Anak sekarang tetap loyal, loyal pada pengembangan kreativitasnya, meskipun harus jadi "kutu loncat".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun