Kalau pun si suami berbohong dengan mengatakan masih bujangan, pertanyaan berikutnya, kenapa si wanita percaya begitu saja. Bukankah seharusnya diselidiki terlebih dahulu.
Pokoknya, yang salah itu selalu si wanita. Padahal, seorang peselingkuh yang baik, memang lihai.  Ia rajin memberikan perhatian, memberi hadiah, sehingga lama-lama si gadis akan luluh.
Tapi, sekali lagi, kalangan umum menilai yang salah tetap si wanita. Sudah tahu yang menggoda punya istri di rumah, kok ya masih mau? Oke, saya tidak ingin berdebat tentang ini.Â
Hanya saja, saya yakin istilah merebut suami orang tidak bisa diartikan secara harfiah, seperti seseorang merebut sekotak perhiasan yang lagi dipegang orang lain.
Namun demikian, istilah tersebut terlanjur memasyarakat. Istilah ini beranak, melahirkan istilah "pelakor"Â
Sekarang kita sorot laki-laki yang direbut. Sebagai yang diperebutkan, tentu demikian berharga si lelaki tersebut. Jadi istilah ini seolah-olah meninggikan si lelaki.
Tapi dengan menganggap lelaki seperti "barang" yang ditarik-tarik dua wanita, seolah-olah lelaki itu mau saja diatur-atur, ini bisa ditafsirkan sebagai merendahkan, bahkan melecehkan.
Nah, bagaimana sebetulnya penafsiran yang tepat? "Merebut suami orang", apakah itu berarti meninggikan atau justru merendahkan harga diri seorang lelaki?Â
Ya, ini pada akhirnya berkaitan dengan harga diri. Atau, ya sudahlah, tak usah dipikirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H