Lalu bulan depan pun lewat, demikian pula bulan-bulan setelah itu. Awalnya, masih bisa memberikan berbagai alasan, tapi lama-lama akhirnya memilih menghilang tak tentu rimbanya.
Jika si pengutang berani menunjukkan tanggung jawab, seharusnya ia mendatangi pihak yang memberikan pinjaman. Menjelaskan kondisi kehidupannya dan apa kesulitannya, menjadi cara yang baik. Bila ia tidak mengarang-ngarang, bukan tidak mungkin utangnya dikonversi sebagai zakat atau bantuan, sehingga tak kan ditagih lagi.
Tapi, bila si pengutang di media sosialnya masih terlihat pergi berbelanja di mal, makan-makan di restoran, maka pasti si pemberi pinjaman merasa dikibuli. Sulit untuk mengikhlaskan utang seperti itu.
Akan lebih parah kalau si pengutang melalukan ghosting, tak bisa dikontak sama sekali. Dalam hubungan percintaan, korban ghosting tak punya hak untuk memperkarakan ke pihak yang berwajib. Tapi, dalam soal utang piutang, bisa diperkarakan sekiranya didukung oleh dokumen yang memadai. Hanya saja, biaya untuk memperkarakan juga tidak sedikit, dan prosedurnya mungkin tidak sederhana.
Begitulah, baik dalam soal percintaan, maupun dalam soal utang piutang, melakukan ghosting cerminan dari perilaku yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan bagi korban, meskipun berat, mengikhlaskan menjadi opsi yang perlu dicoba. Ambil hikmahnya sebagai pelajaran berharga, agar tidak terulang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H