Program vaksinasi untuk mencegah penularan Covid -19 di negara kita sudah berlangsung sekitar satu bulan. Namun demikian, suara tentang adanya sebagian warga yang menolak divaksin, masih saja terdengar.
Padahal, vaksinasi menjadi harapan terakhir untuk bisa mengendalikan bencana pandemi Covid-19 yang telah setahun terakhir melanda negara kita. Memang, dengan vaksinansi pun, tidak ada jaminan badai Covid-19 pasti berlalu. Kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, tetap diperlukan.
Namun demikian, sekiranya vaksinansi telah diberikan kepada mayoritas penduduk Indonesia, serta penambahan kasus baru Covid-19 dapat ditekan ke angka yang relatif kecil, maka program pembatasan sosial, bisa diperlonggar.
Makanya, para pelaku usaha, dari kelas UMKM hingga perusahaan besar, sangat berharap dengan kesuksesan pelaksanaan vaksinasi, agar aktivitas ekonomi segera normal lagi.
Tentu pemerintah tidak kalah berharap. Bukankah bila pandemi semakin lama berlarut, anggaran pemerintah akan semakin banyak terkuras, tidak saja untuk merawat pasien Covid-19 di banyak rumah sakit, tapi juga untuk menyalurkan berbagai jenis bantuan kepada anggota masyarakat yang kehilangan penghasilan.
Sedangkan masyarakat sendiri, ada yang cuek-cuek saja, merasa Covid ini semacam isu yang dibesar-besarkan, sehingga abai dengan protokol kesehatan. Tapi, mereka yang frustrasi, tak kalah banyak. Mereka terlalu lelah, tertekan, dan akhirnya malah kesehatan mentalnya terganggu.
Dengan gambaran seperti di atas, tak bisa lain, target pemerintah agar sebanyak 181,5 juta penduduk menerima vaksin, perlu didukung dan disukseskan. Cukup logis pula, bila pemerintah mengeluarkan ketentuan yang memberlakukan sanksi bagi warga yang telah ditetapkan sebagai penerima vaksin, tapi menolak untuk divaksin.
Masalahnya, penolakan itu tidak semata-mata merugikan satu orang, tapi bisa menjadi penghalang pengendalian pandemi, bila yang satu orang itu mengidap virus. Meskipun tergolong orang tanpa gejala (OTG), toh bisa menularkan ke banyak orang, jika si pengidap tidak mematuhi protokol kesehatan.
Adapun sanksinya bersifat administratif, yang seperti ditulis kompas.com (15/2/2021), berupa: (a) penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, (b) penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, dan/atau (c) denda.
Nah, berapa besarnya denda? Kalau di DKI Jakarta adalah Rp 5 juta. Bisa jadi di provinsi lain, besarnya denda terhadap warga yang sudah ditetapkan sebagai penerima, namun menolak divaksin, bervariasi.Â
Boleh jadi bagi orang kaya yang tidak percaya dengan vaksin, akan memilih membayar denda Rp 5 juta. Tapi, sebetulnya ada ancaman yang lebih berat, yakni hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 100 juta, bila yang dituduhkan mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (kontan.co.id, 13/1/2021).