Tak perlu ditulis nama BUMN-nya. Memang tidak viral, tapi bila mau melacak ke berita daring, di sebuah BUMN, meskipun hanya terbatas di lingkungan salah satu kantor wilayahnya, terjadi keresahan para karyawannya yang merasa diperlakukan secara tidak manusiawi.
Saya mendapat cerita melalui sebuah grup WA yang sebagian anggotanya merupakan pekerja di BUMN yang saya ceritakan di atas, tapi mereka bekerja di kantor pusat di Jakarta. Nah, salah seorang anggota grup meneruskan pesan seorang karyawan kantor wilayah yang ditujukan langsung ke direktur utama.
Apakah pesan tersebut betul-betul dikirim ke orang nomor satu di BUMN dimaksud atau tidak, bukan menjadi tujuan saya menulis hal ini. Tapi, sekarang memang lazim, seorang pejabat tinggi sengaja memberikan nomor ponselnya yang khusus untuk menerima pengaduan dari karyawan.
Pada intinya, postingan itu mengisahkan banyak karyawan di lingkungan kantor wilayah di atas yang merasa "dijajah" oleh sang kepala wilayah, sehingga memohon untuk diselamatkan oleh direktur utama. Mereka bekerja di hari Sabtu dan Minggu tanpa mendapat uang lembur, sedangkan di hari kerja biasa waktu habis untuk vidcon (video conference) yang bisa berlangsung sampai malam. Akibatnya, karyawan mengalami depresi.
Para karyawan juga mengeluhkan, dalam masa pandemi ini, atasannya masih saja menuntut agar omzet perusahaan mengalami peningkatan. Padahal, di kantor wilayah lain, yang lebih diutamakan adalah bagamana kesehatan semua pegawai dan keluarganya tetap terpelihara, dan memaklumi bila terjadi penurunan omzet.
Bukankah tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum mengalami penurunan? Sehingga berbisnis apapun mengalami kelesuan, kecuali yang terkait dengan obat-obatan, alat kesehatan, dan alat pelindung diri.
Baik, ulasan berikut ini tidak lagi spesifik tentang BUMN di atas. Tapi, secara umum, dari beragam gaya kepemimpinan seorang pejabat, memang ada yang bergaya otoriter, yang di mata anak buah, mereka seperti merasa terjajah. Apalagi bila si pejabat sering menggertak, mengancam, dan mengeluarkan kata-kata kotor saat marah, misalnya dengan menyebutkan nama-nama penghuni kebuh binatang.
Ironisnya, atasan yang sering bertindak keras kepada anak buah, sehingga terkesan tidak manusiawi tersebut, ke atasannya lagi (dalam hal pemimpin wilayah, atasannya adalah direktur dan direktur utama), ia bertindak sangat sopan. Ibarat kata, ia menerapkan gaya " tumpul ke atas, tajam ke bawah".
Budaya mencari muka, juga menjadi salah satu sebab munculnya bos yang menekan anak buah. Soalnya, ia ingin terlihat menonjol di mata direksi. Maka, ia selalu ingin melampaui target yang ditetapkan direksi. Bahkan, ia ingin menunjukkan, bahwa walaupun lagi pandemi, namum omzetnya tetap meningkat.
Padahal, ia tak menyadari, demi mencari muka dan agar terlihat menonjol itu, anak buahnya merasa depresi. Istri dan anak-anak para karyawan juga kena getahnya, karena sang kepala keluarga hanya menghabiskan waktu untuk urusan kantor.Â
Jangan pula heran, gara-gara si karyawan dimarahi bosnya di kantor, si karyawan tanpa menyadari melampiaskan kekesalannya dengan memarahi istri dan anaknya di rumah. Ada saja sedikit kesalahan si istri atau anaknya, si suami akan mengeluarkan sumpah serapah. Akibatnya seisi rumah jadi stres.
Bayangkan, kalau suasana seperti itu berlangsung berbulan-bulan, siapa yang tahan? Sebagian besar karyawan akan tetap bertahan, sambil berdoa atasannya cepat dipindahkan oleh direksi. Sebagian lagi yang tidak tahan, akan mengirim pesan ke nomor direksi seperti kisah di atas.
Kenapa mereka bertahan? Karena mereka membutuhkan penghasilan bulanan agar dapur di rumah tetap ngebul. Tapi, biasanya ada saja segelintir orang yang betul-betul tidak tahan, lalu memilih resign, dengan segala konsekuensinya, termasuk menjadi pengangguran.
Menurut saya, dalam menghadapi bos yang otoriter, para karyawan harus kompak. Utus saja beberapa karyawan yang dinilai pintar bernegosiasi untuk menghadap si atasan, dan menyampaikan uneg-uneg para karyawan.
Jika cara tersebut tidak membuahkan hasil, tak ada salahnya mengadu kepada direksi. Masih tak berhasil? Mogok massal menjadi senjata pamungkas. Pokoknya, bos yang otoriter di masa rata-rata tingkat pendidikan karyawan sudah semakin tinggi, sudah tidak cocok lagi, makanya perlu "dilawan", tapi dengan cara yang santun.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H