Jika sebuah perusahaan sengaja memilih seorang ahli yang berasal dari luar negeri sebagai pimpinan, sangat dapat dimengerti. Jangankan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, perusahaan yang sahamnya sepenuhnya milik investor domestik pun sah-sah saja mencari manajer profesional asing yang diyakini mampu meningkatkan kinerja perusahaan.
Tapi, ceritanya jadi sangat berbeda bila yang menjadi pejabat pemerintah, misalnya gubernur, bupati atau wali kota, dipercayakan kepada seorang warga negara asing (WNA). Meskipun misalnya, WNA itu terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum.
Itulah yang baru-baru ini menjadi berita yang menggegerkan. Seorang WNA, Orient Patriot Riwu Kore, terpilih menjadi bupati di Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kenapa hal ini bisa terjadi? Itulah yang masih dipermasalahkan, di mana letak kebobolannya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat merasa telah melakukan tugasnya secara baik sesuai ketentuan yang berlaku.
Bisa jadi KTP yang digunakan Orient saat mendaftar di KPU adalah KTP asli. Tapi, proses mendapatkannya yang perlu ditelusuri, siapa tahu tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kompas.id (3/2/2021) menuliskan bahwa penerbitan KTP Elektronik bupati terpilih Sabu Raijua, diduga karena ada intervensi dari pihak lain.
Perlu diketahui, Orient Patriot Riwu Kore memang orang asli Indonesia yang setelah dewasa merantau dan mencari nafkah di Amerika Serikat (AS). Ia kemudian menikahi warga negara AS dan juga mendapatkan status sebagai warga negara AS.
Seperti ditulis kompas.id (4/2/2021), Orient tidak mengejar jabatan karena kekayan dan kehidupannya di AS sudah cukup. Ia terpanggil untuk menjadi bupati semata-mata karena ingin memenuhi amanat sang ayah, agar ia mengabdi di kampung halaman.
Masalahnya, sewaktu pendaftaran di KPU, Orient tidak mengurus penghentian statusnya sebagai WNA karena merasa akan hilang secara otomatis bila ia menjadi pejabat publik di luar AS. Kasusnya mirip dengan Arcandra Tahar, yang pernah menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral selama tiga minggu pada tahun 2016. Arcandra yang kelahiran Padang pada tahun 1970 itu, ternyata telah memegang paspor AS sejak 2012.
Memang, cukup banyak diaspora Indonesia yang sukses di luar negeri. Dengan berbagai pertimbangan, mereka rela melepas status WNI dan memperoleh paspor di negara tempat mereka berdomisili, soalnya Indonesia tidak memperkenankan adanya dwikewarganegaraan. Tapi bagi sebagian orang tak masalah bila tak lagi jadi WNI, mengingat berbagai fasilitas akan mereka nikmati seiring pergantian status itu.
Terhadap yang seperti itu tak usah buru-buru mencap mereka tidak lagi mencintai Indonesia, apalagi dengan menuding sebagai pengkhianat bangsa. Toh, kecintaannya mereka terhadap Indonesia bisa berjalan melalui sumbangan pemikiran dan juga dana. Bahkan, tidak sedikit yang aktif mempromosikan pariwisata Indonesia.
Masalahnya, bila kemudian mereka kembali ingin jadi WNI, tak bisa lain, mereka harus meninggalkan status WNA. Lalu, bila ingin menjadi pejabat publik, barangkali ada lagi sejumlah ketentuan yang harus dipatuhi.