Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Daerah Istimewa Minangkabau, Sekadar Wacana?

5 Februari 2021   11:07 Diperbarui: 5 Februari 2021   13:42 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun saya sudah sejak tahun 1986 memiliki kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta, tapi kecintaan saya terhadap daerah kelahiran, Sumatera Barat, tidak pernah berkurang.

Saya tidak pernah ragu mengaku sebagai orang Minang. Saya sengaja menekankan "Minang", bukan "Padang", karena saya tahu, bagi banyak warga Jakarta, semua orang Minang dianggap sebagai orang Padang.

Padahal, Padang hanyalah satu di antara belasan kota yang ada di Sumatera Barat. Tapi, Padang memang kota terbesar di sana dan sekaligus sebagai ibu kota  provinsi. Hanya saja, kota kelahiran saya bukan Padang, tapi Payakumbuh, yang terletak 125 km di utara kota Padang.

Saya sama sekali tidak terganggu, meskipun teman-teman saya sering bercanda dengan mengatakan "Padang Bengkok", yang artinya kira-kira orang Minang dianggap tidak jujur atau culas.

Tidak jelas, apakah istilah yang sebetulnya menyakitkan bagi orang Minang itu berawal karena perbuatan sebagian perantau yang tidak elok. Saya menduga-duga saja, mungkin dulu (jangan-jangan sampai sekarang) para pedagang asal Padang yang jumlahnya memang banyak di Jakarta, sebagian kurang jujur kepada pelanggannya.

Namun demikian, saya mengambil sisi positifnya, dengan berusaha menunjukkan ke teman-teman saya di kantor bahwa saya tidak "bengkok". Saya yakin, pada setiap etnis selalu saja ada orang yang berperilaku buruk, tapi juga ada yang berperilaku baik. Tidak bisa main pukul rata begitu saja.

Terlepas dari citra urang awak yang kurang bagus seperti itu, saya ingin bernostalgia, betapa dulunya orang Minang telah memberikan kontribusi amat besar bagi terbentuknya Republik Indonesia. Gudang intelektual tempo dulu itu, selain dari etnis Jawa yang mayoritas, ya dari etnis Minang, meskipun jumlah orang Minang hanya sekitar 3 persen dari penduduk Indonesia.

Tanpa bermaksud untuk membangga-banggakan, boleh dikatakan bahwa orang Minang zaman dulu itu terbilang istimewa. Banyak yang jadi tokoh politik, ulama, sastrawan, wartawan, pada era menjelang proklamasi kemerdekaan hingga beberapa tahun setelah itu.

Sekadar menyebut sejumlah nama yang terlintas di benak saya (tanpa googling), sosok yang membanggakan orang Minang dimaksud antara lain Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, M. Natsir, M. Yamin, Tan Malaka, Buya Hamka, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Djamaludin Adinegoro, Rosihan Anwar, Rasuna Said, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiah, M. Sjafei, PK Ojong, dan pasti masih banyak lagi yang lainnya.

Tokoh Minang zaman sekarang? Nah, itu dia yang saya bingung, sekadar mencari lima nama saja, susahnya minta ampun. Yang jadi pemikir, budayawan, sastrawan, ulama besar, semuanya terlalu tinggi untuk digapai orang Minang. Memang ada nama Fadli Zon, Karni Ilyas (siapa lagi, ya?). Itu pun mungkin sebagian orang tidak menyukai gaya Fadli Zon. 

Soal adat istiadat, konon orang Minang memegang teguh "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah". Namun, mohon maaf, begitu banyak kasus kriminal di Sumbar, tentu si pelaku tidak saja melanggar hukum, tapi juga tidak dibenarkan menurut adat.

Soal bahasa daerah? Jangankan para perantau, sebagian warga di kota Padang yang merupakan orang Minang asli, berbicara dalam bahasa Indonesia ala Jakarta (tapi tetap dengan aksen Minang) kepada anak-anaknya.

Soal agama? Memang ada beberapa pesantren di Sumbar. Tapi, agar lebih mendapatkan materi yang lebih baik, banyak orang tua yang mengirimkan anaknya ke Gontor atau pondok pesantren lain di Jawa.

Soal keindahan alam yang menjadi aset pariwisata? Tak dapat disangkal inilah yang menjadi nilai jual Sumbar saat ini, karena untuk industri besar, Sumbar hanya punya the one and only, Semen Padang. Hasil pertanian juga begitu-begitu saja.

Sayangnya sebagian sumberdaya manusia di Sumbar belum siap melayani wisatawan dengan baik. Masih saja terdengar berita pengunjung dari luar daerah yang merasa tertipu dengan membayar harga lebih tinggi dari yang seharusnya saat berbelanja.

Soal kuliner?  Mungkin ini yang boleh dikatakan semakin berkembang karena rumah makan yang menyediakan masakan Padang sekarang sudah tesebar ke berbagai penjuru, bahkan hingga mancanegara. Apalagi, rendang Padang dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia.

Prof. Dr. Mochtar Naim, pendiri Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, pernah menggulirkan ide pembentukan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Saya tidak tahu, apakah tulisan ini relevan dengan pembentukan DIM.

Tapi, bila DIM hanya sekadar nama, sedangkan peningkatan mutu sumberdaya manusianya tetap tidak mampu mengembalikan kejayaan orang Minang jadul yang "gudang intelektual" itu, menurut saya DIM akan tinggal sekadar wacana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun