Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kena Pajak atau Tidak, Kita Semua Butuh Pulsa

2 Februari 2021   12:09 Diperbarui: 3 Februari 2021   06:18 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilihat dari kacamata pemerintah, Pajak Pulsa (selanjutnya ditulis PP), sungguh ide yang brilian. Sebetulnya, secara lengkap ruang lingkupnya adalah "Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan" atas pulsa, kartu perdana, token listrik dan voucer.

Namun, tulisan ini lebih fokus pada PP, karena hal ini pasti menyentuh hampir semua kita. Seperti apa nantinya PP akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam membeli dan menggunakan pulsa, menarik untuk diamati. Tapi, kalaupun ada pengaruhnya, diduga tidak akan signifikan.

Sejauh ini, ada dua pendapat yang mengemuka di media massa berkaitan dengan mekanisme pemungutan PP. 

Pertama, yang terkena PP bukan konsumen secara langsung, tapi pihak yang menjadi perantara penjualan pulsa. 

Umpamanya, seseorang mengisi pulsa di ATM sebuah bank senilai Rp 100.000, tapi rekeningnya terdebet Rp 103.000. Nah Rp 3.000 merupakan fee based income (FBI) bagi pihak bank, atau pihak lain yang menjadi perantara perdagangan pulsa. Nah, yang Rp 3.000 itu akan dipajaki. Maka, yang berkurang adalah keuntungan bagi bank pemilik ATM

Kedua, PP akan mengakibatkan kenaikan jumlah yang harus dibayarkan konsumen. Sebagai lanjutan contoh di atas, bila sebelumnya konsumen harus membayar 103.000, maka sekarang menjadi Rp 103.300, di mana Rp 300 nantinya disetor ke negara sebagai PP. Jelas, jika pola ini yang terjadi, maka secara langsung jadi membebani rakyat.

Kenapa sampai membawa-bawa nama rakyat? Ya, karena itu tadi, pulsa telah menyentuh hampir semua penduduk. Dari anak SD hingga kakek-nenek sekarang kerjanya main hape melulu. Tujuannya mulai dari untuk belajar, bekerja, berjualan, ikut menonton konten pengajian, menyebar hoaks, menonton gambar porno, kampanye politik, dan berbagai hal lainnya.

Ilustrasi (Dok. detik.com/Mindra Purnomo)
Ilustrasi (Dok. detik.com/Mindra Purnomo)
Memang, tidak semua bersifat negatif. Yang sifatnya untuk belajar, bekerja, berdagang, atau hal produktif lainnya, dengan bantuan hape, akan lebih efisien dan hasil yang dicapai juga lebih banyak.

Tapi, secara umum, karena hape ternyata bisa mendatangkan rasa ketagihan, banyak pakar yang mengingatkan agar masyarakat tidak menghabiskan waktunya bermain gawai. Soalnya, akan kontra produktif, sehingga seseorang yang harusnya bekerja atau belajar, terlena untuk sekadar bermain-main dengan gawainya.

Ya, kalau sekadar bermain-main, masih tidak terlalu jelek. Yang lebih parah lagi bisa merusak mental, bila kecanduan konten porno, atau malah menggunakannya untuk sarana penipuan. 

Namun, pihak perusahaan yang menyediakan pulsa dan penyedia konten, begitu gencar berpormosi, sehingga pulsa sekarang menjadi kebutuhan pokok, seperti halnya makan dan minum. Tanpa pulsa, seolah dunia terasa hampa. Apalagi godaan untuk aktif bermedia sosial, susah untuk dilawan.

Berdasarkan data dari Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia, hingga akhir 2011 (9 tahun yang lalu), jumlah pelanggan selular di Indonesia sudah 240 juta. Jumlah pelanggan demikian banyak karena sebagian orang bisa punya 2 atau 3 nomor hape.

Bayangkan, dengan jumlah konsumen sebanyak itu, bisnis pulsa yang per orang katakanlah hanya membeli pulsa puluhan ribu rupiah saja setiap bulan, dihitung secara nasional sudah triliunan rupiah. Itu baru untuk satu bulan.

Maka, kalau itu pun akan dikenakan pajak, jelas masyarakat tidak bisa mengelak, karena pulsa seperti telah disebut di atas, terlanjur menjadi kebutuhan pokok. Bisa jadi sebagian masyarakat akan lebih hemat dalam menggunakan pulsa, hanya memakai untuk yang penting-penting saja.

Tapi, kalau sama sekali tidak membeli pulsa, kok rasanya tidak mungkin. Satu atau dua orang bisa saja betul-betul puasa dari media sosial dan sekaligus ingin lepas dari "penjajahan" gawai. Hanya saja, ini sekadar pengecualian yang di mata mayoritas dianggap aneh.

Kembali ke soal mekanisme PP, ada berita terbaru yang dimuat kompas.id (1/2/2021), bahwa pengenaan PP ini (termasuk juga kartu perdana, token listrik dan voucher) ternyata sudah berlaku selama ini. Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku mulai Senin (1/2/2021) ini tidak mengubah harga, hanya memperpendek mekanismenya.

Dengan demikian, bisa ditafsirkan, bagi konsumen tidak bakal ada perubahan dari kondisi sebelumnya, dan yang berkurang adalah FBI bagi bank atau pihak lainnya yang berfungsi sebagai perantara penjualan pulsa.

Ya, kita tunggu saja. Yang jelas, apakah PP menambah biaya atau tidak, pulsa sudah menjadi kebutuhan kita bersama. Tak ada pulsa tidak bisa ngapa-ngapain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun