Berdasarkan data dari Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia, hingga akhir 2011 (9 tahun yang lalu), jumlah pelanggan selular di Indonesia sudah 240 juta. Jumlah pelanggan demikian banyak karena sebagian orang bisa punya 2 atau 3 nomor hape.
Bayangkan, dengan jumlah konsumen sebanyak itu, bisnis pulsa yang per orang katakanlah hanya membeli pulsa puluhan ribu rupiah saja setiap bulan, dihitung secara nasional sudah triliunan rupiah. Itu baru untuk satu bulan.
Maka, kalau itu pun akan dikenakan pajak, jelas masyarakat tidak bisa mengelak, karena pulsa seperti telah disebut di atas, terlanjur menjadi kebutuhan pokok. Bisa jadi sebagian masyarakat akan lebih hemat dalam menggunakan pulsa, hanya memakai untuk yang penting-penting saja.
Tapi, kalau sama sekali tidak membeli pulsa, kok rasanya tidak mungkin. Satu atau dua orang bisa saja betul-betul puasa dari media sosial dan sekaligus ingin lepas dari "penjajahan" gawai. Hanya saja, ini sekadar pengecualian yang di mata mayoritas dianggap aneh.
Kembali ke soal mekanisme PP, ada berita terbaru yang dimuat kompas.id (1/2/2021), bahwa pengenaan PP ini (termasuk juga kartu perdana, token listrik dan voucher) ternyata sudah berlaku selama ini. Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku mulai Senin (1/2/2021) ini tidak mengubah harga, hanya memperpendek mekanismenya.
Dengan demikian, bisa ditafsirkan, bagi konsumen tidak bakal ada perubahan dari kondisi sebelumnya, dan yang berkurang adalah FBI bagi bank atau pihak lainnya yang berfungsi sebagai perantara penjualan pulsa.
Ya, kita tunggu saja. Yang jelas, apakah PP menambah biaya atau tidak, pulsa sudah menjadi kebutuhan kita bersama. Tak ada pulsa tidak bisa ngapa-ngapain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H