Apa lagi yang mesti dikomentari? Rasanya sungguh nyesak di dada membaca kompas.id pagi ini (Jumat, 22 Januari 2021). Judulnya sudah bikin miris: "Rekor Kematian, Pasien Covid-19 Tak Tertangani Lagi". Tapi, hal ini bukan berita mengagetkan. Faktanya, memang banyak pasien yang terpaksa ditolak oleh pihak rumah sakit.
Kalau sudah begitu, di tengah ketidakpastian berapa lama pasien harus menunggu, sementara berputar-putar dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, semuanya mengatakan kapasitasnya sudah penuh, maka peningkatan angka kematian adalah konsekuensi logis.
Hanya ada dua peluang bagi pasien baru agar bisa dirawat di rumah sakit, yakni bila ada pasien lama yang dinyatakan sembuh atau ada pasien yang meninggal. Dan semua orang tahu, menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Apabila mental si penunggu drop, daya tahan tubuh semakin lemah.
Masalahnya, tidak semata soal kapasitas rumah sakit, tapi juga jumlah tenaga kesehatan yang tidak mencukupi. Kalaupun pihak militer diminta bantuan membangun rumah sakit darurat secara cepat, proses merekrut tenaga kesehatan tidak bisa dilakukan secara instan.
Mari kita lihat data terbaru, posisi hari Kamis (21/1/2021). Jumlah penambahan pasien di hari tersebut tercatat sebanyak 11.703 kasus. Meskipun terbilang tinggi, tapi itu bukan rekor tertinggi, yang beberapa hari sebelumnya pernah menyentuh angka 14.000-an kasus.
Namun, yang mengerikan adalah melihat angka kematian yang pada Kamis kemarin kembali memecahkan rekor baru, dengan mencatat sebanyak 346 kasus kematian dalam satu hari.
Dalam bulan Januari 2o21 saja telah terjadi empat kali pemecahan rekor kematian karena Covid-19. Dimulai pada tanggal 12 Januari dengan 302 kasus, kemudian diikuti 306 kasus pada 13 Januari. Berikutnya, rekor pecah lagi jadi 308 kasus pada 19 Januari, sebelum kembali dipecahkan pada 21 Januari dengan 346 kasus.
Melihat kerawanan daya tampung rumah sakit, angka 346 kasus berpotensi untuk dipecahkan lagi, meskipun kita berharap hal itu tidak terjadi. Ini betul-betul memerlukan upaya yang berlipat ganda untuk mengatasinya.
Menarik pula pengamati bahwa rekor harian penambahan pasien terkonfirmasi positif Covid-19 hampir selalu dipegang provinsi DKI Jakarta. Tapi fasilitas rumah sakit dan tenaga kesehatan di ibu kota merupakan yang terbaik di Indonesia.Â
Maka, kalau rekor kematian bukan dipegang DKI Jakarta, tentu ada kaitannya dengan fasilitas tersebut. Pada data per 21 Januari 2021, sebaran kasus kematian harian dipuncaki oleh Jawa Tengah, yakni 101 kasus. Sementara di DKI Jakarta "hanya" 30 kasus kematian.
Adapun secara kumulatif, jumlah kematian terbanyak dipegang oleh provinsi Jawa Timur dengan 7.195 kasus, dan diikuti oleh Jawa Tengah dengan 4.843 kasus (detik.com, 21/1/2021).
Masalahnya, kalau Jakarta saja sudah mengaku kewalahan, bayangkan apa yang terjadi di daerah. Seperti ramai diberitakan media massa, Pemprov DKI Jakarta sudah meminta agar penanganan Covid-19 diambil alih oleh pemerintah pusat, karena untuk memudahkan koordinasi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Bawedan sudah tidak tahan karena daya tampung rumah sakit yang tak mampu lagi, padahal pasien yang datang tak terbendung, di antaranya tak sedikit dari luar Jakarta, khususnya Depok, Bogor, Bekasi (semuanya termasuk Jawa Barat) dan Tangerang (masuk provinsi Banten).
Wisma Atlet yang punya ribuan kamar saja sudah tidak kuat, artinya kondisi sekarang betul-betul sudah luar biasa. Kalau masyarakat masih menyikapinya dengan biasa-biasa saja, akan sangat berbahaya. Kedisiplinan mematuhi protokol kesehatan, tak bisa ditawar lagi.
Selain itu, bagi yang memenuhi syarat, tak usah ragu lagi, ambil kesempatan untuk divaksin. Inilah sebuah upaya yang menjadi harapan baru sambil mematuhi protokol kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H