Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anggaran Bansos, Sumbangan Berhadiah, dan Judi Buntut

4 Februari 2021   10:10 Diperbarui: 4 Februari 2021   10:27 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bansos. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Saya pernah menulis tentang gebrakan yang dilakukan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Beliau bergerak cepat dengan mendatangi daerah yang tertimpa bencana gempa bumi di Sulawesi Barat. Namun, bersamaan dengan itu juga terjadi banjir besar di Kalimantan Selatan. 

Waktu itu saya mempertanyakan daya tahan (maksudnya secara fisik) ibu menteri, mengingat bencana di negara kita terjadi bertubi-tubi, silih berganti. Contohnya, bersamaan dengan banjir di Kalsel di atas, sebetulnya hal yang sama juga menimpa beberapa tempat di Kalbar, Aceh, dan juga longsor di Sumedang (Jabar) dan Manado (Sulut).

Tapi, saya tertarik dengan komentar salah seorang pembaca yang tidak khawatir dengan daya tahan Risma, begitu panggilan Tri Rismaharini. Yang mencemaskannya justru soal anggaran, jangan-jangan Kementerian Sosial jebol anggarannya.

Ya, untuk membantu warga yang terdampak bencana, tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Belum lagi kalau dihitung juga dana bantuan sosial yang bersifat rutin seperti yang diberikan bagi kaum tunawisma. 

Berikutnya, sejak pandemi Covid-19 menghantam negara kita yang berlangsung sudah hampir 1 tahun, bantuan sosial untuk mereka yang tiba-tiba kehilangan atau mengalami penurunan penghasilan, juga memakan anggaran yang besar.

Kabar bagusnya, belum terdengar keluhan pemerintah yang bisa ditafsirkan sebagai kekurangan anggaran untuk bantuan sosial. Meskipun demikian, kita tahu, utang pemerintah memang relatif besar, baik kepada pihak asing, maupun kepada masyarakat yang membeli obligasi (surat utang) yang diterbitkan pemerintah.

Gara-gara anggaran sosial itulah, tiba-tiba saya teringat dengan masa kecil saya di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada dekade 1970-an. Kebetulan, sepulang sekolah, saya sering ikut ke kedai tempat ayah saya berjualan sepatu di Pasar Payakumbuh.

Di trotoar di depan kedai itu, ada pedagang yang menggunakan semacam kotak untuk menggelar dagangannya. Ia bukan berdagang makanan, bukan pula mainan anak-anak. Yang dijualnya adalah dua koran harian terbitan Padang, Haluan dan Singgalang. 

Namun, selain koran, ada kertas lain yang lebih laris, yakni lembaran undian berhadiah yang dinamakan "Undian Harapan". Undian ini bersifat legal karena memang mendapat izin dari pemerintah pusat dan berlaku secara nasional. Hasil penjualannya setelah dikurangi hadiah yang cukup fantastis untuk ukuran masa itu, digunakan untuk dana bantuan sosial.  

Undian Harapan tersebut, sebelumnya terkenal bernama Nalo (kalau tidak keliru, artinya Nasional Lotre). Kemudian Undian Harapan juga beberapa kali berganti nama, antara lain untuk merespon tudingan sebagian ulama yang menyebutnya sebagai judi. 

Terakhir, sebelum tidak dibolehkan lagi oleh pemerintah pada tahun 1993, dinamakan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Jelas, pemerintah ingin menekankan pada kata sumbangan sosial, agar tidak terkesan sebagai legalisasi perjudian.

Ayah saya sesekali membeli selembar SDSB. Ketika muncul pengumuman pemenang (yang diputar setiap minggu), saya yang disuruh Ayah mencocokkan nomor yang dibeli dengan daftar nomor pemenang. Daftarnya lumayan panjang karena selain satu orang pemenang utama, ada lagi urutan pemenang berikutnya. 

Untuk pemenang harapan, yang hadiahnya relatif kecil, namun masih lumayan untuk mentraktir beberapa orang, jumlah pemenangnya cukup banyak, seingat saya 100 orang. Maksud saya 100 nomor lembar undian, karena bisa saja seseorang membeli 50 lembar undian dan 2 di antaranya muncul di daftar pemenang.

Saya sempat mengkhayal jadi anak orang kaya, bila undian yang dibeli ayah saya berhasil memenangkan hadiah utama. Jika dihitung dengan nilai uang sekarang, hadiah utama tersebut, dugaan saya paling tidak sekitar Rp 1 miliar. Sayangnya, jangankan hadiah utama, hadiah harapan sekalipun, tidak pernah didapat ayah saya.

Menurut ayah saya, jika niat kita untuk menyumbang, boleh-boleh saja membeli SDSB. Yang judi dan ayah saya tidak pernah membelinya adalah judi buntut. Ini termasuk ilegal dengan mendompleng Undian Harapan atau SDSB.

Cara bermain judi buntut mirip main tebak-tebakan nomor berapa yang akan memenangkan undian minggu ini. Uang judi buntut ini ditarik oleh agen yang nantinya disetor ke seorang bandar. Cukup dengan menebak betul dua angka terakhir pada nomor pemenang utama Undian Harapan, si pemasang judi buntut akan menerima beberapa kali lipat dari nilai nominal yang dipasangnya ke agen.

Celakanya, bila banyak yang betul tebakannya, si bandar bisa menghilang karena ia akan tekor. Banyak orang yang tergila-gila pada judi buntut dan bertanya pada "orang pintar", nomor berapa yang akan keluar. Bahkan ada yang menafsirkan mimpinya menjadi nomor-nomor undian, atau menafsirkan gambar di koran menjadi nomor jitu yang layak dipasang.

Yang lebih tidak masuk akal, ada yang bertanya ke orang gila tentang nomor yang akan keluar. Konon, jawaban orang gila biasanya tepat. Ada-ada saja. 

Tapi, kembali ke kondisi sekarang ini, syukurlah pemerintah tidak punya niat untuk menghidupkan lagi pengumpulan dana sosial dengan pola sumbangan berhadiah. Melihat dampak negatifnya yang jauh lebih banyak ketimbang soal sumbangan yang terkumpul, tindakan pemerintah sudah tepat.

Dampak negatif dimaksud adalah rusaknya mental sebagian masyarakat yang malas bekerja atau belajar. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk menebak nomor judi buntut yang jelas-jelas termasuk judi.

dok. islam.nu.or.id
dok. islam.nu.or.id

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun