Dulu, waktu masih di sekolah menengah, saya ikut kursus bahasa Inggris. Meskipun di sekolah nilai Bahasa Inggris saya selalu minimal dapat 8, tapi tidak membuat saya lancar bercas-cis-cus secara lisan. Nah, di kursus tersebutlah, saya dapat bekal mempraktikkan bahasa orang bule itu.
Maka, kalau ketika itu dari kota asal Payakumbuh saya sengaja berburu turis asing di kota wisata Bukittinggi, itu bukan untuk foto selfie yang akan dipamerkan di media sosial. Belum ada hape saat itu dan juga belum ada internet dan media sosial.
Tapi, dengan perasaan bangga saya ajak bule tersebut naik minibus ke Payakumbuh (berjarak 33 km dari Bukittinggi), saya bawa ke tempat kursus, sehingga guru saya memberikan apresiasi atas inisiatif saya itu. Jadilah si bule melayani berbagai pertanyaan dari saya dan teman-teman.
Pergaulan saya dengan bule semakin intens setelah saya bekerja di sebuah BUMN di Jakarta. Beberapa kali saya menjadi anggota tim yang bekerjasama dengan konsultan asing. Pernah juga saya punya bos orang Amerika Serikat (AS) ketika krisis moneter dulu, konon karena dipersyaratkan dalam perjanjian antara pemerintah Indonesia yang mendapatkan pinjaman dari International Monetery Fund (IMF).
Kemudian, masih ketika berkarier di BUMN tersebut, saya pernah ditempatkan selama dua tahun di kantor wilayahnya di Denpasar, yang wilayah operasinya meliputi kantor-kantor cabang di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Saya pun jadi semakin sering bertemu bule di Pulau Dewata itu. Saya bisa membedakan turis asing kelas atas yang menginap di Nusa Dua atau Ubud dengan bule kelas bawah yang menginap di berbagai homestay di sekitar Kuta dan Legian.Â
Melihat bule mabuk di pinggir jalan saat dini hari menjadi hal biasa. Terlepas dari kondisi saat ini yang lagi sepi karena pandemi, di sekitar pantai Kuta, dominasi turis asing demikian terasa, seolah mereka di negara asalnya sendiri dan kitalah yang menjadi tamu.
Memang, masyarakat Bali sangat akomodatif. Turis mancanegara itu relatif bebas, sepanjang tidak mengganggu masyarakat lokal. Bule-bule itu asyik berjemur dengan pakaian yang hanya sekadar menutup bagian amat vital, sementara warga lokal juga asyik melakukan ritual tertentu.
Kisah seorang bule di Bali yang baru-baru ini sempat viral, bisa dilihat dari konteks yang saya maksud di atas, yakni bule bukan merasa jadi orang asing dan bisa bertingkah secara bebas di Bali. Sayangnya, bule itu kebablasan dalam bermedia sosial.
Bule tersebut bernama Kristen Gray. Unggahannya yang mengajak turis asing ramai-ramai ke Bali di Twitter menjadi trending karena mendapat kecaman keras dari warganet. Kecaman tersebut akhirnya membuat pihak yang berwajib bertindak cepat, mencari Gray dan mendeportasinya.
Sebetulnya, pujian Gray tentang nyamannya tinggal di Bali, sesuatu yang baik-baik saja. Masalahnya, Gray mengajarkan agar turis asing masuk Bali lewat "jalan belakang" yang diduga ilegal dengan mengakali kebijakan visa pemerintah Indonesia dan juga tidak membayar pajak.
Gray bernasib baik di Bali, meskipun akhirnya diusir karena kecerobohannya. Turis asing yang bernasib buruk, lumayan banyak. Bahkan, Bali sudah kenyang dengan kasus bule kere.Â
Ada yang mencopet, menipu, mengemis, mengamen, dan berbagai tindakan lainnya yang lazimnya dilakukan sebagian warga lokal yang masuk kelompok marjinal.  Jika ada yang tidak percaya, tinggal googling saja, akan  gampang ditemui kisah negatif sebagian warga asing.
Memang, sebagian bule nekad datang ke Indonesia tanpa bekal uang yang memadai. Sebagian lagi pada awalnya punya uang cukup, namun kemudian kehabisan uang, sehingga tak punya uang buat kembali ke negaranya. Ada pula yang memang berniat berlama-lama di Indonesia, karena terlanjur merasa nyaman.
Adapun warga asing yang berasal dari negara yang tengah dilanda konflik politik, menjadikan Indonesia sebagai tempat pelarian, baik bersifat sementara menjelang berangkat ke negara lain, maupun yang ingin menetap.
Kesimpulannya, bule sama saja dengan kita, ada yang baik, ada yang brengsek. Dan ada yang berstatus penyandang masalah sosial. Tak perlu membeda-bedakan perlakuan, misalnya bule selalu dihormati, sementara warga lokal jika penampilannya tidak terlihat meyakinkan, malah dipandang rendah.
Sebagai sesama makhluk Tuhan, semua kita adalah sama, harus mematuhi hukum dan norma yang berlaku di mana kita berada. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H