Masih ingat Dino Patti Djalal? Ya, di zaman SBY menjadi Presiden, Dino menjadi orang penting yang memegang posisi strategis, yakni sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat dan berlanjut menjadi Wakil Menteri Luar Negeri.
Hebatnya, Dino yang merupakan diplomat karier itu, meraih posisi duta besar di negara adikuasa tersebut pada usia  relatif muda, 45 tahun. Sebelum itu, pada periode pertama kepemimpinan SBY, Dino ditunjuk menjadi Juru Bicara Presiden.
Sayangnya, begitu tongkat estafet kepemimpinan beralih dari SBY ke Jokowi, Dino tidak mendapat posisi di pemerintahan, sehingga wajahnya pun mulai jarang menghiasi media massa. Padahal, Dino masih sibuk dengan urusan yang terkait dengan luar negeri, yakni aktif di sebuah organisasi, Indonesia Diaspora Network Global (IDNG).
IDNG sudah beberapa kali mengadakan kongres yang dihadiri oleh perwakilan diaspora Indonesia dari berbagai penjuru dunia. Berkaca pada diaspora China dan India yang banyak membantu pembangunan di negara leluhurnya, diaspora Indonesia pun diharapkan akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan Indonesia.
Tak ada yang tahu berapa persisnya jumlah diaspora Indonesia, tapi diperkirakan mencapai enam juta hingga delapan juta orang di seluruh dunia (merdeka.com, 17/6/2020). Itulah yang coba dihimpun dan digerakkan dengan keberadaan IDGN sejak 2012.
Nah, potensi diaspora tersebut rupanya tercium oleh Sandiaga Uno yang sekarang menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Diaspora Indonesia akan diajak berkolaborasi dengan menjadi "Duta Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia" di negara tempat tinggal mereka. Untuk itu, Sandiaga menunjuk Dino Patti Djalal sebagai Penasehat Utama (Chief Strategic Advisor) di kementerian yang dipimpinnya.
Harus diakui, Sandi terbilang rajin melontarkan ide yang dimaksudkan sebagai langkah terobosan untuk menggairahkan kembali bisnis pariwisata dan ekonomi kreatif yang sejak awal tahun 2020 lalu mengalami lesu darah, akibat bencana pandemi Covid-19.
Sebelum menggarap diaspora Indonesia, Sandi menggagas program work from destination (WFD) yang mengimbau mereka yang  selama ini bekerja di kantor atau di rumah, agar bekerja di lokasi destinasi wisata. Tentu destinasi itu dipilih yang telah terbukti menerapkan protokol kesehatan secara ketat, agar pengunjungnya tidak tertular Covid-19.
Sayangnya, ide tersebut kurang bergaung, tenggelam oleh berita bencana yang menimpa negara kita secara bertubi-tubi, seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, erupsi gunung berapi, dan musibah jatuhnya pesawat terbang komersial. Akibatnya, ide WFD pun kehilangan momentum.
Namun, jika turis asing berdatangan berkat tertarik dengan kampanye yang dilakukan diaspora Indonesia, sekarang juga belum momen yang tepat. Seperti di negara kita, bukankah di hampir semua negara, jumlah penduduk yang terkonfirmasi positif Covi-19 sudah berlipat ganda?
Hanya saja, kalau boleh menebak jalan pikiran Sandi, mungkin ini yang dalam teori ekonomi disebut dengan "bergerak mendahului kurva" atau mencuri start. Ini semacam langkah antisipatif, mempersiapkan diri agar saat kondisi sudah membaik, dalam pikiran banyak orang asing, sudah tertanam bahwa negara pertama yang akan dikunjunginya adalah Indonesia.