Belum lagi kalau membicarakan warga yang terdampak pandemi Covid-19. Tahun lalu, paket bantuan sosial tidak diterima warga yang berhak secara utuh, namun diduga disunat terlebih dahulu. Sekarang, Risma harus menjamin tidak akan terjadi lagi main sunat seperti dulu.
Lalu, tak dapat dipungkiri, masih terdapat warga yang seharusnya menerima bantuan, tapi karena ketidakakuratan data, mereka masih belum menerima. Risma menjadikan perbaikan data sebagai salah satu program jangka pendeknya.
Bahkan, Risma proaktif menjaring kaum tunawisma untuk ditempatkan di Balai Rehabilitasi Sosial, serta dibantu pengurusan identitas kependudukannya agar dapat menerima bantuan sosial.
Jadi, pertanyaan tentang seberapa panjang "napas" Risma, seberapa tangguh daya tahan fisik dan mentalnya, wajar mengemuka. Termasuk pula di sini, kemampuannya menahan gempuran komentar di media sosial dari pihak yang kurang menyukainya.
Soalnya, mau tak mau langkah Risma berdimensi politik dan mungkin mengkhawatirkan bagi politisi lain yang pamornya menjadi di bawah bayang-bayang Risma.
Risma memang seorang perempuan, tapi itu tidak identik dengan lemah. Gaya ceplas-ceplos khas Surabaya dan kegemarannya blusukan, memberikan harapan baru, bahwa Kementerian Sosial bisa lebih baik di bawah kepemimpinannya. Dan itu menjadi modal berharga untuk karir Risma berikutnya. Siapa tahu Risma menjadi capres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H