Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Terlalu Banyak Grup WhatsApp Gara-gara "Grup dalam Grup"

23 Januari 2021   06:32 Diperbarui: 23 Januari 2021   10:17 1829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Grup WA yang berkaitan dengan keluarga juga mirip saja dalam arti relatif banyak. Soalnya, ada fenomena "grup dalam grup", atau dalam sebuah grup besar, beberapa orang di antaranya membentuk grup baru dengan anggota sangat terbatas. 

Ada grup keluarga inti, yang hanya saya dan kakak-adik. Ada keluarga inti yang diperluas dengan memasukkan anak, keponakan dan ipar. Ada lagi grup yang sangat besar, karena termasuk pula para sepupu, om, tante, dan famili lainnya.

Juga ada grup keluarga yang hanya merupakan famili dari pihak ayah saya, ada juga yang dari pihak ibu saya, dan tentu juga ada yang gabungan. Makanya, tidak saja "grup dalam grup", tapi banyak pula yang beririsan. Hal ini tak terelakkan, karena ada informasi yang ditujukan untuk ramai-ramai dan ada yang relevan untuk sebagian orang.

dok. Reuters/Dado Ruvic, melalui kontan.co.id
dok. Reuters/Dado Ruvic, melalui kontan.co.id
Anggota grup harus berhati-hati, jangan menyampaikan komentar di grup yang keliru. Memang bisa dihapus, tapi bila terlanjur dibaca sebagian anggota yang tidak berkepentingan, maka informasi (dalam beberapa hal juga berupa kritik tajam, kecaman, dan gunjingan) yang bersifat rahasia, akan gampang tersebar. 

Baik, kembali ke grup yang berkaitan dengan tugas kantor, saya masih ikut beberapa grup dadakan yang sebetulnya bersifat temporer, tapi tidak kunjung dibubarkan. Ini yang sempat saya singgung sebelumnya, bahwa saya ingin cabut, tapi sungkan. Jadilah saya anggota pasif tanpa memberikan komen dan juga tidak menanggapi komen orang lain.

Contohnya, tahun 2016 saya ikut pelatihan bidang manajemen risiko di Cambridge, Inggris, selama satu minggu. Pesertanya terdiri dari pekerja dari beberapa perusahaan, kebanyakan perusahaan milik negara. Begitulah, betapa gampangnya membuat grup WA, tapi agak sulit membubarkannya.

Tak heran, beberapa grup yang saya ikuti sebetulnya berstatus mati suri. Di antaranya adalah grup yang dibentuk oleh seorang teman kuliah yang megajak saya dan beberapa teman untuk jalan-jalan ke Vietnam tahun 2018. Jalan-jalannya hingga sekarang tidak terwujud dan tak ada lagi perbincangan di grup.

Apapun juga, terlepas dari masalah berbagi data dengan FB, WA telah banyak membantu saya dalam pelaksanaan tugas kantor. Juga untuk bersosialisasi dengan famili dan teman-teman. 

Dengan berbagai pertimbangan, terutama mengingat keberadaan grup WA yang saya ikuti, maka saya memutuskan untuk tetap setia bersama WA, sambil wait and see, apa yang akan terjadi nantinya.

Sebetulnya, bagi seseorang yang memilih berhenti menggunakan WA, lalu memilih aplikasi lain, pada prinsipnya sama, jangan sembarangan mengumbar hal yang sensitif atau bersifat sangat pribadi di media sosial apapun juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun