Rasanya masih segar dalam ingatan saya, pengalaman naik pesawat yang menegangkan di tahun 2002. Ketika itu saya melakukan perjalanan dalam rangka dinas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, ke Bandara Polonia, Medan, dengan maskapai penerbangan Garuda Indonesia.
Penerbangan itu sebetulnya berjalan lancar hingga akhirnya ketika mau mendarat sekitar jam 8 malam, terjadilah hal yang menegangkan bagi semua penumpang. Dugaan saya, dari ekspresinya, terlihat dua orang pramugari yang juga cemas.Â
Seperti apa perasaan pilot, tentu tidak dapat saya lihat, karena ia bertugas di ruang yang tertutup. Namun, dari suaranya yang tiga kali menyampaikan pengumuman, kesannya sang pilot mampu menguasai keadaan dengan emosi yang terkendali.
Begitu pesawat mulai menurunkan ketinggiannya dalam rangka persiapan mendarat, terlihat bahwa di sekitar bandara lagi diguyur hujan deras. Namun, entah kesulitan apa yang terjadi, pilot seperti berputar-putar saja di sekitar bandara tanpa tanda-tanda akan mendarat.
Tiba-tiba malah pesawat naik lagi dan menjauh dari bandara, diikuti oleh terdengarnya suara pilot yang menyampaikan bahwa sebetulnya pesawat sudah siap untuk mendarat, tapi ada kendala yang membuat pendaratan gagal. Pilot juga menambahkan, bila nanti kondisinya membaik, maka pesawat akan dicoba lagi untuk mendarat.
Saya tidak memahami dunia penerbangan, tapi dugaan saya pilot tidak melihat kondisi di landasan saat hujan lebat dan tidak mau ambil risiko bila memaksakan mendarat. Bukankah sudah beberapa kali terjadi pesawat yang mendarat saat hujan lebat terseret hingga ke luar jalur yang seharusnya dan ada juga yang tergelincir.
Namun demikian, pilot tidak bermaksud memindahkan pendaratan ke kota lain, misalnya ke bandara di Pekanbaru. Alhasil pesawat kembali berputar-putar di sekitar kota Medan. Kemudian, datang lagi kesempatan mendarat. Saya komat kamit membaca doa dan berharap pendaratan akan mulus, meskipun merasa cemas karena terlihat masih hujan.Â
Saya kira penumpang lain juga cemas, paling tidak ekspresi penumpang di sebelah saya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Sayangnya, apa yang terjadi persis seperti percobaan yang pertama, yakni pesawat kembali naik dan diikuti oleh pengumuman pilot dengan kalimat yang persis sama dengan sebelumnya.
Maka, tentu saja ketika pesawat kembali naik dan berputar-putar, perasaan saya makin tegang. Demikian pula yang terlihat pada wajah penumpang lain. Lampu yang sengaja dipadamkan sebagai prosedur standar ketika mendarat membuat situasi makin mencekam.
Akhirnya datanglah kesempatan mendarat yang ketiga kalinya. Dari jendela pesawat terlihat hujan masih turun, sehingga doa saya pun semakin panjang. Kali ini Allah mengabulkan doa saya, dan juga doa para penumpang lainnya, pesawat berhasil mendarat dengan sempurna.
Begitu roda pesawat menyentuh landasan, saya mengucap syukur alhamdulillah. Tapi, saya agak kaget, secara serentak terdengar tepuk tangan panjang para penumpang dan saya pun ikut bertepuk tangan. Rupanya itu sebagai apresiasi bagi keberhasilan pilot.Â
Ibaratnya, nyawa semua penumpang sangat tergantung kepada keahlian si pilot, sehingga keberhasilan mendarat pada percobaan yang ketiga kali, selain mengucap syukur kepada Sang Pencipta, pilot layak mendapat applause.
Satu hal yang menurut saya juga merupakan hal yang positif dari tindakan sang pilot, adalah memberikan pengumuman langsung apa yang terjadi. Kalau hanya pramugari yang mengumumkan dan informasinya sebatas meminta para penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman karena cuaca yang jelek, penumpang mungkin belum terpuaskan rasa ingin tahunya.
Namun, pengumuman pilot tentu juga ada sisi kurang nyamannya, terutama bagi penumpang yang justru makin panik bila mengetahui apa yang terjadi. Memang ada orang yang tak siap mental menerima berita yang tidak diharapkannya.
Saat saya sudah berada di terminal kedatangan, teman kantor yang menjemput saya ternyata juga merasa tegang, karena mereka melihat dua kali pesawat yang akan mendarat tiba-tiba naik dan menghilang. Katanya, hal tersebut jarang terjadi.Â
Memang, waktu kritis bagi penerbangan adalah saat lepas landas dan ketika mau mendarat. Seperti musibah yang terjadi baru-baru ini ketika maskapai Sriwijaya Air jatuh di perairan Kepulauan Seribu, terjadi tidak lama setelah lepas landas.
Semoga di masa mendatang, semua pihak yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan mampu mengambil hikmah dari musibah Sriwijaya Air, sehingga hal serupa tidak terulang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H